Gincu Merah Itu, Untuk Siapa?

Gincu Merah Itu, Untuk Siapa?
hdwallpaper

Akhir-akhir ini hubungan Aswad dan Sita semakin merenggang saja. Sebagai pasangan suami-istri mereka seringkali mempermasalahkan hal yang sesungguhnya tidak harus dibesar-besarkan. Namun masalah sebenarnya adalah, Aswad merasa Sita sudah berubah, ia merasa cinta Sita padanya sudah berkurang—atau malah sudah pudar. Bahkan Aswad sudah lupa kapan terakhir mereka membicarakan tentang cinta. Padahal, Aswad sudah menjalani tugasnya sebagai suami dengan baik. Ia memberikan uang bulanan, tidak pernah bicara kasar—apalagi berbuat aniaya, dan ia tidak pernah selingkuh. Apa jangan-jangan Sita yang sudah main di belakang?

Pikiran seperti itu sontak singgah di benak Aswad. Ia bukan mencurigai istrinya itu, tapi ya bagaimana lagi, ia tidak menemukan kalimat yang tepat untuk menjadi alasan Sita menjauh darinya dan tidak menemukan kalimat yang tepat pula untuk mengganti “apa jangan-jangan Sita yang sudah main di belakang”.

Aswad mempunyai rencana untuk mengetahui apakah istrinya benar-benar selingkuh atau tidak. Ia mengambil cuti selama satu minggu dan membuntuti Sita kemana pun ia pergi. Pagi hari Sita berangkat ke kantor dengan Honda jazz hijaunya, lalu 5 menit kemudian Aswad memberhentikan taksi untuk mengekor Jazz hijau. Sita menuju apartemen Rona—Sahabat Sita dan juga sahabat Aswad—untuk menjemputnya. Sesampainya di gedung kantor mereka berdua keluar seraya tertawa-tawa kemudian masuk ke gedung.

Ketika petang menjelang, mereka pulang. Aswad sudah menunggu di seberang gedung dan kembali membuntutinya. Mobil Sita menuju apartemen, mengantar Rona pulang. Di apartemen ini mobil Sita terparkir cukup lama, Sita ikut turun berjalan menuju kamar apartemennya. Walaupun lama Aswad sabar menunggu demi mencari kebenaran sesungguhnya.

Selama seminggu itu ia tidak menangkap Sita beriringan dengan lelaki lain. Sepulang dari kantor Sita lebih sering menghabiskan waktunya di apartemen Rona. Satu hari Aswad mengikuti istrinya berjalan ke bar, hari lainnya berbelanja ke mal, akan tetapi semua dilakukan bersama Rona, tidak ada seorang lelaki pun disampingnya.

Pasti ia selingkuh, pasti! Aku hanya belum menangkap basah saja!
—————
Memasuki waktu senja di hari Kamis, ruang kelas masih gaduh oleh percakapan para mahasiswa. Dosen tata bahasa yang harusnya mengajar hari ini belum datang. Namun 15 menit kemudian pintu kelas terbuka, dan sesosok pria yang tidak lain adalah dosen tata bahasa masuk ke dalam kelas. riuh-rendah di kelas pun penyap.

Para mahasiswa terpaku melihat si dosen. Dosen itu lebih cocok menjadi Artis, dan dosen itu memupus kacamata mahasiswa yang beranggapan kalau kebanyakan dosen itu pasti tua renta, dan juga kepalanya pasti botak—mitos menganggap semakin pemikir seseorang, semakin botak kepalanya.

    “Namanya Aswad,” kata Rona.

    “Ia terlihat masih muda sekali. Aku yakin mungkin usianya sekitar 23 atau 24 tahun,” ucap Sita yang masih memandangi Aswad.

    “Lebih tepatnya 25 tahun.”

    ”Bagaimana kau bisa tahu, heh?” Pandangan Sita sontak beralih ke Rona, muka keheranan tampak di Wajah Sita.

    Rona mendekatkan bibirnya ke daun telinga Sita, membisikkan sesuatu. “Dia itu tetanggaku sekaligus sahabatku dari kecil.”

     “Ah…yang benar?” pernyataan itu membuat Sita terkejut.

    “Kapan aku berbohong padamu, Ta? Tapi diam-diam saja kau, aku membuat kesepakatan dengannya kalau di kelas ini aku dan dia tidak saling mengenal,”

    “Tapi di kelas tata bahasa ini nilaiku pasti A kan?” Sita senyum menggoda.

    “Dasar, Kau! Iya nanti aku akan bilang dia agar memberikan nilai A untukmu dan untukku,” Rona memandang sinis, “O iya, hati-hati kau, jangan sampai jatuh cinta padanya!”

    “Tentu tidak akan, Rona.”

Sita berteman dengan Rona sejak pertemuan pada orientasi mahasiswa. Saat itu, Mereka berdua dihukum berdiri di depan pagar karena memakai kuncir di rambut berwarna merah, sedangkan panitia ospek saat itu sudah menyuruh untuk memakai warna hitam. Sebelumnya, mereka tidak saling kenal, tapi mengapa mereka berdua bisa sama-sama salah dengan warna yang sama pula? Padahal kemungkinan warna yang dipilih cukup banyak. “Mungkin kita jodoh,” kata Sita kala itu. Mereka pun mencuri-curi tawa di depan senior-senior yang memasang muka garang.

Setelah itu ternyata mereka dipertemukan lagi di kelas yang sama. Mereka pun menjadi sahabat yang sangat dekat. Melakukan apa-apa selalu bersama, membeli baju, menonton bioskop, berenang, dan apapun diusahakan untuk melakukannya bersama.

Sita juga sering bermain di rumah Rona tapi ia tidak pernah melihat Aswad—mungkin  pernah lihat sepintas namun ia tidak ingat. Pantas saja saat Aswad masuk kelas Sita merasa seolah-olah wajahnya tidak asing, seperti pernah melihatnya.

Kini, ketika Sita sudah tahu bahwa Aswad tinggal di sebelah rumah Sita, kadang ia bertanya-tanya pada Sita perihal Aswad. Tak jarang juga Sita dan Aswad bertemu di depan rumah, lantas mereka pun saling menyapa dan bercakap-cakap—sebagaimana hubungan dosen dengan mahasiswanya.

Aswad pun juga sering bertanya-tanya tentang Sita pada tetangganya itu. Bertanya makanan kesukaannya, musik kesukaannya, bahkan hal-ikhwal yang tidak penting, jika Rona meladeni terus mungkin Aswad akan bertanya berapa banyak jumlah tahi lalat di badan Sita. Dasar laki-laki memang serba pengin tahu!

Pertemuan yang semakin sering membuat Aswad menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar hubungan dosen dengan mahasiswanya. Ia jatuh cinta pada Sita. Mereka pun menjalin hubungan sebagai kekasih. Dan setelah Sita mendapatkan gelar sarjana sastranya, Aswad langsung meminangnya.
—————
Ada 2 hal yang tidak bisa dihindari Rona. Pertama, takdir Tuhan dan kedua, Sahabat nan juga sekaligus mantan tetangganya yang mengajak untuk ketemuan. Beberapa jam yang lalu Aswad menghubungi Rona meminta untuk menemaninya makan siang. Jika Rona menolaknya pasti ia terus dihantui bagai manisnya kenangan masa lalu yang tak mau lepas. Aswad akan mengendus seperti anjing pelacak. Dan Rona tidak mau nanti Aswad mengunjungi apartemennya, banyak pakaian-pakaian wanita berserakan dan malas dirapikan Rona.

Sejatinya Rona selalu berusaha sejarang mungkin bertemu dengan Aswad. Setiap melihat Aswad, perasaan kesal, cemburu, geram mengalir entah dari hulu di hatinya yang mana, Apalagi jika mereka sudah berkumpul bertiga: Aswad, Sita, dan Rona. Perasaan cemburu Rona menyembul saat Aswad memegang tangan Sita, mencium keningnya, dan melakukan perlakuan romantis yang seharusnya tidak diberikan pada Sita. Dan Rona hanya bisa menyembunyikan emosinya saja sambil memakan makanan yang terhidang di meja saat itu.

Mereka bertiga pernah duduk satu meja hanya dua kali, saat hubungan Aswad dan Sita masih hangat-hangatnya dan ketika mereka mencanangkan hari pernikahannya, dan Rona adalah orang yang pertama kali tahu—serta yang pertama sakit hati.

Sesuai dengan ajakan makan siang Aswad, maka di situlah mereka berada, duduk berhadapan di sudut sebuah kedai dekat stasiun. Tidak banyak orang pada Sabtu siang—yang menjelang sore—itu. Di sudut lainnya, sekumpulan anak muda terpingkal-pingkal serta asap rokok merojol di antara percakapan mereka.

    “Jadi istrimu tidak tahu kita di sini?” Tanya Rona.

    “Tidak,"

Aswad langsung teringat istrinya di rumah yang selagi Ia berangkat sedang di kamar entah melakukan apa. Sebetulnya dalam hati Aswad ada perasaan yang mengganjal. Meski Aswad hanya bertemu dengan sahabatnya, bagaimanapun juga ia bertemu dengan wanita lain.

    “Pasti ini tentang istrimu, kan?

    “Aku mulai takut kau bisa membaca pikiran,”

Mereka berdua tertawa. Tak lama kemudian pelayan kedai membawa pesanan Aswad, mi instan dengan kuah susu serta milkshake caramel. Lalu diikuti pesanan Rona, soto betawi dan lemon tea. Mereka berdua pun melahapnya pelan-pelan, dengan senda gurau yang sesekali terlontar. Setelah makanan mereka sudah habis, barulah Aswad menceritakan masalahnya.  

    “Apa kau tahu sesuatu, mengapa belakangan ini sifat Sita terhadapku berubah?”

    “Mungkin sedang kedatangan tamu bulanan,”

    “Kurasa bukan. Ia terlihat seperti…tidak mencintaiku lagi.” kata Aswad, “Aku yakin ia pasti selingkuh di belakangku,”

    “Apa yang membuatmu menyimpulkan demikian?”

    “Bayangkan saja. Seringkali ia pulang larut malam dengan bibir yang bergincu merah darah, padahal paginya ia tidak memakai gincu setebal itu. Suami mana yang tidak cemburu melihat istrinya memakai gincu tapi tidak ditujukan untuknya?”

Rona terdiam, tidak tahu harus membalas apa.

    “Apa menurutmu,” lanjut Aswad, “aku menceraikannya saja?”

    Sejenak suara lengang, tidak ada suara di meja mereka. Tawa dari percakapan anak muda di meja lainnya terdengar jelas.

    “Itu masalah rumah tanggamu, Wad,” balas Rona, “Aku tidak berhak memutuskan apa kau harus bercerai dengannya atau tidak, tapi aku mengingatkanmu ikatan perkawinan itu tidak seperti saat kau masih pacaran, tidak bisa memutuskan begitu saja hubungan secara sepihak. Dan baiknya kau mempertahankannya saja.”

    “Nah, jika menurutmu harus dipertahankan, walaupun kau sahabatnya, seharusnya kau berkata jujur padaku. Apa dia selingkuh dengan lelaki lain?”

    “Tidak,”

    “Sungguh?”

    “Sungguh.”

    “Sumpah?”

    “Sumpah, Aswad!” tegas Rona, “Ayolah Wad, cemburumu itu berlebihan. Bilik tempat ia bekerja juga berhadapan denganku, jadi aku tahu siapa saja yang menemuinya, ia tidak pernah jelalatan dan tidak ada pria mana pun yang menggoda Sita, semua orang di kantor juga sudah tahu Sita sudah diperistri.”

Rona bergumam dalam hati, Tidak akan aku ampuni jika Sita memang selingkuh!

Aswad menghela napas, kalut marut di benaknya sedikit memudar mengetahui Sita tidak membabi jalang dengan lelaki lain.
—————
Hari sudah gelap. Sepulang dari pertemuan dengan Aswad, Rona kembali ke apartemenya. Ia menghela napas dan menyandarkan tubuhnya di sofa. Di depannya televisi sudah menyala, dan terdengar pula suara gebyar-gebyur dari kamar mandi.

Tidak lama kemudian, dari belakang ada pelukan melingkar di leher Rona, pemilik tangan itu mencium tengkuk putih nan halus milik Rona, sementara handuk putih masih melilit sebagian tubuhnya.

    “Lelah?” tanya Sita dengan suaranya yang lembut.

    “Ya begitulah, suamimu rewel sekali.” balas Rona.

    “Sudahlah tak usah dipedulikan,”

    “Kadang aku kasihan juga, dia sepertinya sangat mencintaimu.”

    “Tapi aku kan hanya mencintaimu, sayang.” Rona pun tersenyum.

Sita menuntun Rona ke kamar. Ia melepaskan handuk putihnya. Rona jua menanggalkan pakaiannya satu per satu. Mereka berjalan ke kasur tanpa satu helai pun pakaian kecuali rambut Sita yang masih sedikit basah dan bibirnya yang sudah memakai gincu berwarna merah.
—————


2014