Jika Ada Rindu yang Tidak Pernah Tertidur

Jika Ada Rindu yang Tidak Pernah Tertidur
Jika ada rindu yang tidak pernah tertidur,
itu adalah rindu sehimpun pasir gurun
menanti kepastian yang tiada dari seorang
perempuan yang tercipta dari rintik hujan.

Jika rindu adalah kayu bagi penantian jenuh,
telah mampu kubangun ia menjadi behtera Nuh.
Takkan ada barang-barang atau besar binatang-binatang.
Semua ruang telah sesak oleh hal-ikhwal tentangmu
yang kian merisak. Di palka, hanya ada aku seorang sedang
memetik waktu yang berdetak di jantungku, menghitung
berapa lama jarak telah menepikan kita, sambil
bertanya-tanya kapan pertemuan selanjutnya yang entah.

Sesungguhnya aku suka dengan kepergian yang sementara.
Kepergian yang tidak memberi kepastian pulang, mengasihi
ruang bagi rindu untuk berkembang.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan saat kepergian sementara,
semisal; aku bisa mendoakanmu diam-diam dan kau
setiap malam menapaskan namaku dalam-dalam.
Pula kita bisa membuat satu permainan tebak-tebakan
: Sabar milikku atau kau yang masih subur meski hati dipenuhi bilur?

Pada akhirnya kita pun akan tahu
Tabah siapa yang lebih awal takluk di hadapan penantian.

Aku rasa kau pasti akan kalah lagi seperti biasanya.
Kemudian kau menahan diri untuk kembali rengkah
ke bentuk ringkih yang rengkuh rintik hujan.
Namun semestinya, kau tidak berusaha meredam itu.
Jika bandang airmata tidak mungkin lagi untuk dibendung,
menangis sajalah, sayang, menangislah!

Biar aku bisa menyamar jadi sebuah resah,
yang akan pulang tiap kali pipimu basah.

Memilih dan Memilah Media Sosial

Image Source: Socialmediatoday
Belum lama ini gue baru mengunfollow akun twitter temen-temen gue yang udah lama nggak aktif twitternya. Hampir 100 akun gue unfollow, lalu gue tersadar kalo temen-temen gue sepertinya sekarang sudah pada meninggal… kan media sosial twitter.

Zaman sekarang media sosial itu jumlahnya udah sebanyak permasalahan di negeri kita. Iya nggak sih?

Ada Twitter, Facebook, Path, Instagram, Snapchat, Vlog dan aneka ragam lainnya. Media sosial itu semua bisa didapatkan dengan mudah hanya dengan sebuah email. Nggak perlu ribet-ribet beli di toko atau nyari di toko online. Emang ada gitu orang jual facebook second? kan nggak ada ceritanya.

Walaupun sosmed berjibun, gue termasuk orang yang nggak begitu terbawa arus dengan sosmed-sosmed baru. Gue aktif paling cuma di Twitter dan Instagram. Gue memilih sedikit aktif sosial media agar bisa memilah waktu ber-sosial media dengan waktu lain yang bisa digunakan buat sesuatu yang lebih produktif.

Gue memainkan sosmed yang sekiranya memiliki faedah dalam hidup gue. Bukan sekadar ikut-ikut yang lagi tren aja.

Semisal di Twitter, Twitter menurut gue adalah socmed paling cepat buat menangkap informasi-informasi dari seluruh penjuru dunia. Twitter juga bisa jadi ajang sebar kegiatan/aktivitas sosial atau pun acara-acara menarik yang akan berlangsung di sekitar kita. Sering gue menemukan acara-acara yang sesuai dengan ketertarikan gue lalu gue mengunjungi itu.

Dari twitter gue juga bisa mengetahui jalan pertandingan sepak bola tanpa harus menontonnya secara langsung, yakni dengan live tweet. Lebih-lebih, gue bisa terhibur dengan masalah yang sedang ramai diperbincangkan lalu dijadikan guyonan oleh sejumlah pengguna twitter. Gue juga kadang bisa lihat sebuah permasalahan dari 2 sisi dengan terciptanya perang (tweet war) yang keluar dari kicauan dari sekelompok golongan yang sama-sama merasa paling benar.

Kalau di Instagram, gue seneng ngeliat keindahan-keindahan yang dikemas dalam satu gambar. Instagram itu seperti memanjakan mata dan kadang memberikan inspirasi yang tak terduga. Di media sosial itu ada juga video-video pendek yang bisa jadi hiburan. Gue juga menganggap Instagram sebagai tempat album foto kecil yang merekam diri gue dari tahun ke tahun.

Cuma dua socmed itulah yang paling sering gue buka. Yang lainnya gue tidak melihat manfaat banyak yang bisa didapat. Dulu gue punya path, namun seiring waktu lewat, gue bosen aja. Gue ngeliat path adalah tempat orang-orang mau pamer, nggak iya sih?

At Bandara Dakar Yoff Léopold Sédar Senghor Senegal – with Papa Alioune Ndiaye
Itu salah satu moment yang bakal ditemukan di Path. Apa sebenarnya tujuan membuat status di Path seperti itu? Secara nggak langsung kan sebenarnya mereka mau bilang ke temen-temennya, “Eh gue tuh lagi di Senegal nih sekarang!”

Bagi gue path ini sih pasnya buat nge-stalk gebetan. Kita jadi bisa tau gebetan lagi ngapain, lagi jalan sama siapa, dan menganalisis kesukaannya apa aja. Kita juga jadi bisa tau kapan harus maju atau mundur dalam pengejaran gebetan. Kalau gebetan lu sering update suka makan darah biawak, udah deh mundur aja bro kalo gitu.

Di path bakal ditemukan juga pasti orang-orang yang lagi makan apa diupdate, nonton apa diupdate, lagi berak diupdate, lagi update diupdate #apasih, pokoknya segala aktivitas sehari-hari diupdate dah.

Tidak bisa disalahkan sebenarnya mereka yang suka update aktivitasnya. Gue rasa setiap orang butuh perhatian. Terjunlah mereka ke media sosial. Dengan ngeshare momen kemudian momen itu di-comment, di-like atau di-love, mereka merasa wadah perhatian di hatinya itu perlahan terisi penuh.

Gue juga melihat bahwa keresahan manusia di era digital ini adalah sebuah eksistensi. Sebagian besar orang di media sosial itu sebenarnya ingin menunjukkan eksistensinya. Mereka perlu pamer agar eksistensinya itu diakui. Mereka juga ingin menunjukkan bahwa eksistensinya itu bukan sekadar mengurangi kadar oksigen doang di dunia ini.

Kalau dulu Rene Descartes pernah berujar Cogito Ergo Sum “Saya berpikir, maka saya ada!” maka zaman sekarang kalimat itu sudah berganti Saya main media sosial, maka saya ada!

Berbeda orang, berbeda juga cara menunjukan eksistensinya. Gue cenderung menunjukkan eksistensi gue, ya, dari tulisan-tulisan gue, terutama di blog ini. Bisa jadi sekarang di tulisan ini gue lagi caper aja.

Gue yang sekarang bukan orang yang suka ngasitau gue lagi ngapain saat ini, lagi di mana, lagi sama siapa. Maka dari itu, gue dan path merasa tidak cocok lagi. Dengan menguatkan segenap hati, kami berpisah. Gue pun menghapus akun path gue.

Gue juga tidak bermain snapchat atau vlog. Dua sosmed ini setipe ya, cuma mungkin snapchat versi pendeknya aja dan lebih tidak terskenario.

Ada 2 hal kenapa gue nggak bermain sosmed ini. Pertama, muka gue nggak videogenik. Kedua, kehidupan gue terlalu membosankan untuk ditonton.

Sebetulnya gue nggak pernah merasa bosan dalam melakukan aktivitas-aktivitas gue, tapi kalo aktivitas gue dijadikan tontonan, sudah pasti yang menonton bakal lebih memilih untuk pura-pura mati dibanding menonton video itu sampe abis.

Karena aktivitas reguler gue ya gitu aja. Bangun tidur
berangkat kuliah langsung pulang ke rumah buka laptop makan tidur. Setelah tidur, siklus diulangi dari awal. Begitu terus sampe Limbad jadi rapper.

Mungkin gue bakal mempertimbangkan buat bikin snapchat/vlog kalo aktivitas gue itu punya potensi untuk menarik viewer, semisal: Bangun tidur
sholat subuh Melatih anak cheetah di Taman Safari Madagaskar.

Beuh…

Masih banyak lagi jenis-jenis media sosial lainnya sebetulnya. Dan kemungkinan besar media sosial akan bertambah terus. Dari banyaknya media sosial, sebagimana yang sudah gue bilang tadi, gue memilih yang banyak faedahnya buat diri gue.

Argumen yang gue tulis di sini itu dari perspektif gue aja, setiap orang punya pandangan lain tentang media sosial yang dianut. Walaupun muaranya pasti bakal sama, yaitu sebuah eksistensi diri.

Dari semua media sosial yang ada sampe saat ini, gue masih menjatuhkan pilihan gue pada Twitter. Kalau kalian hanya bisa memiliki satu akun media sosial dalam hidup, dengan alasan dan segala pertimbangan, sosial media apa yang kalian pilih?