Tendangan Pembawa Bencana

Source: Image
Sejak kecil gue suka banget main sepakbola, bahkan ketika gue masih di dalam janin ibu gue, gue udah latihan adu penalti.

Kemampuan gue dalam bermain sepakbola tidak perlu ditanyakan lagi. waktu gue SMA, gue pernah ngegocek 11 pemain lawan, ampe gawang-gawangnya tuh gue gocek. Gile ga tuh?
kalo ga salah, waktu itu gue lawan anak SD yang ingusnya masih meler-meler.

salah satu bagian vital dalam bermain bola adalah tendangan. Ga mungkin dalam bermain bola lo ga melakukan tendangan. Kecuali kalo lo maen bola bekel, itu beda cerita.

Dari kecil gue ngefans banget sama Steven Gerrard dan David Beckham. Kedua pemain ini dimasa keemasannya mempunyai tendangan yang special. iya spesial, jadi tendangannya pake telor 2.
Engga, engga, bukan itu maksudnya. Maksudnya tendangan mereka itu mematikan. Ngga jarang kita bakal disajikan gol-gol dari tendangan jarak jauh. Tendangan-tendangan itu yang membuat gue cinta banget ama kedua pemain ini.

menurut gue, tendangan jarak jauh itu lebih berseni, lebih bisa memukau hati. Makanya gue sering banget melakukan tendangan jarak jauh, walaupun kadang melenceng jauh dari arah kiblat.

Kedua pemain ini yang secara tidak langsung mengajarkan gue cara menendang. Gue tontonin terus cara mereka menendang, setelah itu gue implementasikan ke lapangan.
Hingga di suatu sore gue ngerasa udah seperti Steven Gerrard.

Tempo itu gue masih kelas 1 SMP. langit sore sangat cerah. Hari yang mendukung sekali untuk main bola. Seperti biasa, sehabis sholat asar gue menuju lapangan. Lapangan yang letaknya cukup dekat, sekitar 5 langkah dari rumah, tak perlu kirim surat, sms juga tak usah~

Yak, goyang bang~

Jarak rumah gue sama lapangan emang deket banget, dengan kata lain, lapangan itu ada di depan rumah gue.
lapangan ini sangat jauh dari standar FIFA. Tanahnya itu tanah merah yang masih banyak batu-batuan kecil. Gue dan teman-teman maennya selalu nyeker, makanya kadang-kadang pas pulang membawa oleh-oleh kaki kapalan. Gawangnya adalah dari bambu yang berdiri kokoh tanpa jaring.

Setelah semua anak berkumpul, lebih kurang 10 orang, pertandingan pun dimulai.

Engga ada wasit, ngga ada pelanggaran, ngga ada peraturan, ngga ada strategi khusus untuk bermain, kami hanya bermain sesuka hati, berusaha mengejar bola dan langsung menendang bolanya ke arah gawang.

Dengan semangat bocah-bocah yang haus gol, Tidak ada yang bisa memberhentikan kami ketika bermain bola kecuali 2 hal. Pertama, yang punya bola udah mau pulang. Kedua, adzan magrib berkumandang.
Hari itu kami harus menyelesaikan permainan lebih awal. Namun, bukan disebabkan oleh kedua hal yang tadi gue sebutkan. Ada 1 hal yang cuma terjadi sekali dalam hidup gue.

Itu semua berawal ketika gue sedang menggiring bola menuju gawang. Ketika menggiring melewati sedikit setengah lapangan, gue memutuskan untuk menembak langsung ke arah gawang. 

        “Jebrettt!” suara komentator terdengar dari kejauhan.

Sayangnya bola tendangan gue berhasil dihalau oleh pemain lawan. pemain lawan ini namanya Iki. Setelah menahan tendangan gue, Iki tersungkur menjerit kesakitan, sambil memegangi kakinya. Kami pun mendekatinya. Engga ada rasa panik yang gue rasain, gue berpikir emang kejadian berbahaya apa yang bisa diderita orang yang kegebok bola.

Ternyata gue salah, Iki semakin menjerit kencang sekali, udah abis kaya dicokslem undertaker. Sepertinya ia kecengklak.

        “lo gapapa, Ki?

        “aaaaaaaaaaaaa!” Iki menjerit, lama-lama ia mulai menangis

Dia cuma bisa meringis. Gue mulai panik sekaligus bingung. Gue berusaha untuk setidaknya menghibur dia yang sedang sakit.

“sekarang anda memasuki pertanyaan terakhir, nilainya 50 juta rupiah. Jadi apa jawaban anda?”

        “aaaaaaaaaaaaa!

        “YAK BENAR! SELAMAT ANDA BERHASIL MEMBAWA PULANG UANG 50 JUTA RUPIAH!!!

Tapi sebelum batu-batu di tanah membocorkan kepala gue, gue putuskan untuk membatalkan ucapan itu.
Kakaknya Iki, yang waktu ikutan main bola juga akhirnya memilih untuk mengantar pulang ke rumah. Iki disuruh untuk berdiri pelan-pelan, ternyata dia gabisa. Karena gabisa berdiri, kakaknya menyuruhnya untuk kayang, lagi-lagi Iki gabisa. Alhasil Iki digendong menuju rumahnya.

Setelah peristiwa itu, gue dan teman-teman ngga melanjutkan permainan, malah ngobrol-ngobrol. Kira-kira 30 menit kemudian, ibunya Iki dateng ke lapangan dengan berurai air mata. Ibunya manggil gue, gue pun mendekati dengan gemetar.

gue engga dimarahin. ibunya nanyain kronologis peristiwa masih dengan air mata berceceran, gue menjelaskan. Ibunya terus ke rumah gue, menceritakannya ke ibu gue. mereka berdua menengok Iki di rumahnya, lalu memanggil tukang urut. Gue kembali ngumpul bareng temen gue.
 Sepulangnya dari rumah korban, ibu gue membawa kabar.

        “kakinya Iki ga kecengklak” kata ibu gue

        “oh bagus deh” bales gue

        “iya engga kecengklak, tapi patah!

APAH? PATAH??? Jeng jeng *zoom in zoom out*

Buset, separah itukah tendangan gue?
Gue terkejut, namun hal ini membuat gue makin pede karena merasa tendangan gue udah mirip Steven Gerrard.

Akhirnya orang tua gue menanggung semua biaya pengobatan yang jumlahnya tidak bisa dikatakan sedikit. Bukan karena sepenuhnya gue yang bersalah, lebih karena orang tua gue pengen menjaga hubungan baik sebagai tentangga.

Setelah peristiwa itu dia gapernah lagi maen bola bareng di lapangan. Gue juga ga ngobrol lagi sama dia selama bertahun-tahun. kabar yang gue terima, setelah 3 bulan ia baru bisa berjalan normal kembali.
Selain pernah matahin kaki orang, kekacauan lain yang pernah disebabkan oleh tendangan gue yaitu bikin anak bocah mimisan, dan pas smp Alhamdulillah gue pernah mecahin kaca sekolah.  

Previous
Next Post »
1 Komentar
avatar

Anjir kena bola kaki bisa patah gitu-_- gue mana kuat nendang kaya gitu

Balas