Source: Image |
di bangku panjang, kau duduk
barangkali mencoba mengartikan
pantulan bintang-gemintang di atas danau
yang pendarnya adalah; matamu sendiri.
di bangku panjang, aku duduk
menyidai angan di langit-langit,
pada bulan purnama tempo lalu
(saat ini mungkin hanya itu yang kau cari, pasti)
Tentunya kita masih bersebelahan.
kini kian dekat
namun tak lebih dekat dari, spasi kata pada puisi
ini.
diantara kita, sunyi duduk
berusaha membunuh kata:
atau malah kita.
kadang ia juga menyulih rindu menjadi amarah.
lantas dibuatnya riak gemericik air, suaru burung
hantu,
dan embusan napas
bersatu menjelma eufoni.
dua tangan melengkapi celah jari,
perlahan meluluhkan sunyi
mengalihkan jadi bentuk percakapan --
percakapan tanpa suara;
tanpa kata-kata.
lalu kau buka kembali Sapardi yang kau bawa
membalikkan halaman yang kau suka
tanganmu terhenti di kertas,
yang menyimpan bulu mata
ternyata itu sajak yang dipilih
dan dicinta.
membisikkan kemudian di telingaku
“yang
fana adalah waktu, kita abadi:
memungut
detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai
pada suatu hari
kita
lupa untuk apa…”
sunyi sudah pergi entah kemana
dan aku,
berharap malam itu akan menjadi panjang
2 Komentar
Jari-jemarimu semakin lincah menari, hingga jejaknya semakin mengalun merdu, membelai mesra sanubari
Balaskata-kata mampu tumbuh, maka dari itu ku latih ia menari dan mencintai
Balas