Kata-kata di Negeri Kita

 

Tepat hari ini, negeri sedang dilanda euforia tahun baru dan abad baru. Tahun ini adalah tahun 2100, teknologi sudah maju berkali-kali lipat dari abad-abad sebelumnya. Mobil terbang, rumah anti gempa, berbagai macam obat untuk penyakit langka pun sudah ditemukan. Hampir semua permasalahan di abad sebelumnya dicari solusi untuk menyelesaikannya.

Namun, ada masalah yang dari dulu tidak pernah bisa diselesaikan, yaitu masalah kebohongan. Sejak tahun 2000an sudah berbagai cara yang coba dilakukan untuk mengatasi kebohongan ini. Salah satunya dengan mencipta alat pendeteksi kebohongan, alat ini untuk mendeteksi fungsi organ tubuh yang bereaksi saat seseorang berbohong. Tapi seiring berjalan waktu alat itu mulai diragukan, para ahli menyatakan bahwa alat itu hanya bisa mengenali perubahan psikologi yang bereaksi pada isyarat, tapi tidak bisa mendeteksi kebohongan.

Ada juga cara yang menurutku sangat konyol, yakni dengan mendatangkan pesulap untuk menghipnotis orang yang akan dibongkar kebohongannya. Jadi si pesulap akan mengambil tisu dari kantungnya lalu membakarnya di depan korban. Sebelumnya, si pesulap berkata, “kau akan tertidur kalau melihat api” berkali-kali. Setelah melihat api korban pun tertidur, dan si pesulap akan mengorek seluruh kebohongan si korban. Sungguh konyol menurutku.  Aku tidak bisa menahan tawa ketika ayahku yang mendapat cerita dari ayahnya, menceritakan padaku.

Kebohongan dianggap berbahaya karena kebohongan merupakan akar dari berbagai macam masalah seperti perselingkuhan, penipuan, korupsi, pemerkosaan dan hal lainnya yang pasti tidak baik. Dan setelah diselidiki, banyak kebohongan yang tercipta akibat terlalu banyak kata yang keluar dari mulut besar manusia. Semakin orang banyak bicara, semakin banyak kebohongan yang dilontarkan. Kata-kata adalah alat yang bisa menipu manusia lainnya. Sehingga mulai hari ini, setelah pertimbangan matang-matang, presiden resmi mengeluarkan undang-undang baru; setiap warga di negerinya tidak boleh bicara lebih dari 500 kata per hari.

***

Enam bulan telah berjalan semenjak peraturan pembatasan kata diresmikan, dan hasilnya sangat menakjubkan. Negeriku yang tadinya merupakan peringkat keempat dalam hal terbesarnya terjadi korupsi, sekarang meluncur jauh kebawah hingga ke peringkat 200. Turun hampir 80%. Presiden saat ini, Jo Kiwo, mendapatkan banyak apresiasi dari Negara-negara di dunia. Beberapa Negara di dunia mulai mengikuti cara dari Jo Kiwo untuk memberantas kebohongan.

Beberapa pejabat dan petinggi negeri yang terlibat korupsi banyak yang mendekam di terungku. Satu-satunya cara para koruptor saling berkolusi dengan komplotannya yaitu dengan mengirim pesan dari gawai mereka, sebab 500 kata tidak akan cukup jika mereka berkumpul untuk berpanjang lebar menyusun rencana. Mereka mungkin lupa, ini adalah tahun 2100. Semua Gawai beserta seluruh isi di dalamnya sudah tersambung pada sistem komunikasi pusat. Dan orang-orang yang bekerja di dalamnya tahu lalu-lintas komunikasi dari gawai yang dimiliki setiap penduduk.

Buatku sendiri peraturan ini tidak terlalu berpengaruh, karena aku adalah seorang yang tak banyak bicara, sebelum atau sesudah peraturan itu ada. Aku biasa bicara dengan orang-orang terdekatku saja, aku terlalu malas untuk berbasa-basi. Basa-basi itu basi. Aku lebih suka membaca dan menulis. Malahan aku sangat mendukung peraturan ini. Aku merasa negeri ini sudah tidak banyak lagi orang-orang sok tahu yang bicara dengan kepala diangkat tinggi-tinggi selayaknya orang yang paling tahu, tidak ada lagi ibu-ibu bergunjing di depan rumahku, tak ada lagi suara-suara tak penting, aku sangat suka suasana yang lengang seperti ini.
Aku tidak butuh ke perpustakaan lagi untuk mencari kesunyiaan, di kafe-kafe pun aku bisa mendapatkannya. Seperti hari ini di sebuah kafe bergaya abad pertengahan, aku sedang melanjutkan menulis novel, suasannya di sini sangat sunyi. Awalnya memang berisik namun lama-kelamaan suara riuh rendah pun hilang. Ketika kata-kata habis orang-orang pun hanya sibuk dengan gawai di tangannya. Aku pun tahu kata-kata mereka sudah habis, aku hanya bisa tertawa melihat mereka. 

Kakekku senang sekali bercerita, tapi sayangnya aku tak pernah berjumpa langsung dengannya, dia sudah meninggal sejak aku lahir. Tapi ayahku sering menceritakan apa yang pernah diceritakan kakek. Kakek pernah bilang, tahun 2015 saat kakek masih seumuran remaja sepertiku sekarang, tanda-tanda ini—pertemuan yang dikuasai oleh gawai—sudah timbul. Kala itu kata-kata masih bebas, namun saat mengadakan perkumpulan dengan teman lama, sahabat, atau karib, mereka lebih sibuk bermain dengan gawainya.

Angka perceraian atau putus hubungan antara sepasang sejoli akibat perselingkuhan juga menurun. Tidak sedrastis tindakan korupsi, tapi tetap saja ini merupakan hal positif. Laki-laki hidung belang maupun perempuan jalang tidak mudah lagi mendapat lawan jenis hanya dengan kata-kata manis. Dan yang terpenting anggota dewan atau calon anggota dewan sudah tidak banyak yang berkoar menyampaikan janji-janji gombal. Penduduk kota akan memilih anggota dewan sesuai dengan tindakan yang telah mereka lakukan. Sungguh kemajuan negeri yang nyata.

***

    Ini jam satu siang. Cuaca cukup untuk memanggang kulit manusia yang berjalan menantang matahari. Orang-orang di luar berlalu-lalang menggunakan payung walaupun cuaca tidak hujan. Hal ini untuk mencegah kulit mereka dari sinar ultraviolet yang semakin tahun semakin panas saja. Aku yang sedang duduk di Kafe—selalu duduk di dekat kaca yang memandang keluar, sesekali memerhatikan orang-orang lewat tergesa-gesa. Dan aku sesekali pula mencuri pandangan ke arah wanita—yang duduk dekat kaca juga, tidak jauh dari tempatku terdiam.

Aku sepertinya mengenal wanita itu, aku juga merasa sekali waktu ia memandang ke arahku. Dari samping ia seperti wanita yang pernah kukenal dulu, bahkan sangat kukenal. Tapi dia yang kumaksud tidak mungkin ada di sini, dia sudah pindah ke tempat yang jauh, mengikuti ayahnya yang memang kerja berpindah-pindah. Banyak orang mempunyai kesamaan rupa, sebaiknya aku meneruskan saja novel yang tak kunjung kelar ini.

    “Permisi,” suara wanita dengan lembut memanggilku. Aku pun menoleh. Dan hampir saja mungkin jantungku ingin keluar karena terkejut melihat wanita itu, ternyata wanita itu memang benar dia. Belum sempat aku bisa menguasai diriku, ia kembali berucap.

    “Ascarya! sudah kuduga. Dari tadi aku memerhatikanmu, awalnya aku ragu kalau itu benar-benar kau, tapi ternyata itu benar kau.”

    “Sungguh sejak tadi aku juga menduga kalau itu kau, Syadzwina. Namun logikaku bilang, mana mungkin kau ada di sini.”

    “Lain kali cobalah terbiasa mendengar kata hatimu saja,” ucap Syadzwina menggodaku.

    “Baiklah.” Kataku, “Sudah berapa kata yang kau gunakan?”

    “Menyapamu adalah kata pertama yang aku keluarkan hari ini. bagaimana dengan kau?”

     “Aku pun.”

Syadzwina kini duduk di sebelahku yang memang sedari tadi tak ada yang menempati. Ia menaruh tas dan buku yang ia bawa di atas meja. 

    “Sepertinya kau sedang membaca ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ dari Eka Kurniawan,” kataku ketika melihat buku yang daritadi ia baca telentang di atas meja.

    “Ya begitulah, kau sudah membacanya, Ar?”

    “Tentu saja. Tentang Ajo Kawir yang burungnya tidak bisa berdiri, bukan?” Syadzwina tertawa. Ia tentu tahu, burung yang dimaksud merupakan arti burung secara konotatif. “Omong-omong, apa tujuanmu kembali ke kota ini?”

    “Sama seperti buku ini, ada rinduku yang belum tuntas.” Ia tersenyum.

Setelah itu kami meneruskan bincang tentang banyak perihal bagaikan bocah yang baru saja belajar bicara. Berbincang tentang aktivitas masing-masing, tentang kebiasaan Syadzwina dari dulu yang suka rambutnya dikuncir kuda, tentang aku yang setelah kepergiannya menjadi suka menulis, dan yang tak terlewatkan tentunya tentang peraturan baru ihwal pembatasan kata-kata.

Syadzwina tidak berubah. Dari rambut hingga ujung kaki masih sama, hanya tingginya saja yang bertambah. Cara bicaranya pun masih sama, seperti kami menjalin hubungan dulu, tak canggung seperti sepasang mantan kekasih yang baru bertemu. Dan setelah 3 tahun tak bertemu, ternyata perasaanku terhadapnya masih sama. Aku masih suka semua cara yang ia lakukan.
Kami dulu berpacaran, kemudian harus pisah karena ayahnya yang pindah kerja ke Singapur. Ia pun melanjutkan studi di sana. Sampai 4 tahun kemudian aku masih tak habis pikir, semesta mempertemukan kami di kafe ini.

Tanpa sadar 500 kata punyaku dan punyanya telah habis. Kemudian kami hanya bisa saling tersenyum.

Pukul 3 sore. Tangan kanan Syadzwina menepak punggung kiriku—tanda pamit. Aku mengangguk, dan ia pun keluar melewati pintu berkaca itu. Aku melanjutkan tulisanku, setelah pertemuan dengannya entah mengapa jari-jarinya menjadi lebih ringan untuk melanjutkan tulisan, kata-kata mengalir lancar dengan sendirinya.

Ketika hari tunggang gunung, aku bergegas pulang.

***

    Setiap Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selalu ada golongan yang pro dan kontra. Di depan Istana Negara sedang ada demonstrasi oleh sekumpulan orang yang menentang Undang-undang baru. Rata-rata para pendemo dikuasai oleh para pekerja yang membutuhkan banyak kata-kata untuk mencari uang. Perwakilan dari mereka berorasi secara bergantian, lalu ketika kata-katanya habis cuma bisa ber Ha-Ha-He-He-Ho-Ho sambil mengacungkan tinggi-tinggi kertas-kertas seukuran karton yang menuliskan keluhan mereka. Sedangkan yang golongan Pro—banyaknya orang-orang yang bekerja di penerbitan buku atau media massa, sedang duduk santai sambil menikmati peningkatan konsumen dari pembaca, sebab, acara televisi sudah banyak yang pailit. Sinetron-sinetron—yang sesungguhnya memang tidak ada yang mendidik—tidak ada lagi yang diproduksi. Bayangkan saja, tiap mengambil satu scene saja dalam satu hari kadang tidak selesai, bagaimana mau mengambil berpuluh-puluh bahkan ratusan scene? Belum lagi untuk acara gosip, satu acara setiap beberapa segmen harus bergonta-ganti penyiar karena kehabisan kata, yang otomatis membuat kepala stasiun televisi membutuhkan uang berkali-kali lipat untuk menambah banyak penyiar. 

Presiden Jo Kiwo tak memusingkan hal itu. Baginya, orang-orang itu hanyalah orang-orang yang putus asa. Jika satu sisi menyempit, di sisi lain pasti melebar. Jika satu pintu tertutup, pintu lain pasti terbuka. Mengapa orang-orang tidak mencari saja di sisi yang melebar itu, begitu kata Jo Kiwo yang dilansir oleh salah satu artikel yang sedang kubaca saat ini.

Daritadi Aku sedang berseluncur di internet membaca-baca berita hari ini. Seharusnya aku melanjutkan cerita novelku namun pikiranku sedang mandek. Bahkan secangkir kopi telah aku beli sudah tinggal menyisakan ampas saja, padahal biasanya kopi bisa mengundang inspirasi menulisku. Pikiranku terpaku pada Syadzwina yang tidak kunjung datang di kafe ini.    

Belasan orang sudah keluar masuk dari pintu berkaca bening di kafe. Aku menengok ke arah pintu setiap ada orang yang baru saja masuk, tentu saja aku menunggu kedatangan Syadzwina. Entah tengokan yang ke berapa, Syadzwina muncul dengan pakaian berwarna kuning terang dan rok hitam beberapa senti di bawah lutut. Lalu menaruh payungnya di dekat kasir—di tempat yang disediakan. Kemudian duduk di sebelahku, seperti yang sudah aku tunggu-tunggu. 

Ia meminta maaf atas keterlambatannya. Aku tidak menerima maafnya, karena dia tidak bersalah. Lagi pula kemarin aku dan dia tidak membuat janji akan bertemu di sini lagi.

Kami berdua pun mengucap kata pertama dan menghabisakan kata terakhir dengan orang yang sama. Kata-kataku habis untuknya dan kata-katanya habis untukku. 

***

    Hujan turun begitu deras. Ketika keluar dari stasiun bawah tanah Jakarta Kota, aku membuka payungku, lalu berjalan menuju kafe. Untuk mencapai kafe itu sendiri hanya butuh 10 menit dengan berjalan kaki.

Sebagian besar pejalan kaki berjalan hati-hati menyusuri trotoar di bawah hujan dengan payungnya. Sebagian lagi berlari seperti dikejar anjing seraya menutupi kepalanya dengan tangan atau tasnya dari tetesan hujan. Aku yang berjalan pelan, tiba-tiba ditubruk oleh seorang pejalan yang berlari seperti anjing itu. Aku terjatuh pada air yang menggenang. Payung yang kupegang terlepas beberapa langkah di belakang. Celana jeans dan kemeja yang kukenakan basah lumayan banyak. Aku meledak marah pada orang itu. Ia tidak tahu hari ini akan jadi hari spesialku. Aku akan menyatakan cinta pada Syadzwina, lagi. setelah pertemuan intens beberapa hari belakangan ini dengan Syadzwina, aku sangat yakin dia masih mencintaiku. Tidak mungkin dia tidak mencintaiku jika ia rela menghabiskan kata-katanya untukku selama seminggu terakhir ini. 

Dia yang hampir seluruh tubuhnya telah basah oleh air, meminta maaf. Aku masih terus berceloteh karena perbuatan cerobohnya ini. Memang tidak sering aku marah-marah pada orang, namun seperti yang tadi kubilang, hari ini merupakan hari spesial. Tapi ya mau gimana lagi, mau tak mau aku harus menemui Syadzwina dengan pakaian yang setengah basah ini. Udara dingin dan permintaan maaf berkali-kali sepertinya mampu meredam sulut api kemarahanku, kemudian aku mengambil payung dan melanjutkan jalan.
Sesampainya di depan pintu ia sudah duduk di tempat biasa. Kali ini ia tidak terlihat habis membaca buku yang seminggu ini ia terus bawa; Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Mungkin buku itu sudah ia selesaikan kemarin.

Syadzwina hanya duduk memandang keluar sambil menyeruput green tea panasnya sedikit-sedikit. Terpaku menatap hujan yang di luar sana. Bahkan kehadiranku pun tak disadari olehnya.

    “Maaf aku terlambat,” kataku menyadarkan lamunannya.

    “Kita kan tidak membuat janji apa-apa dari kemarin.”

    “Benar juga.” 

    “Aku sudah menyelesaikan buku ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’,”

    “Ya, lalu?”

    “Giliranku untuk menuntaskan rindu yang kusimpan,”

    “Maksudmu?”

    “Sebelumnya aku punya pertanyaan untukmu.”

    “Pertanyaan apa, Win?”

Syadzwina terdiam. Sejenak sunyi. Di sekelilingku hanya orang yang sudah kehabisan kata. Otomatis hanya suara hujan di luar kafe yang riuh di telinga.

Syadzwina memandang ke arah pintu di mana sesekali orang bergantian masuk dan keluar.

    “Kau tahu mengapa pintu itu dicipta?”

Aku hanya menatap Syadzwina yang masih memandang pintu. Tak menjawab sepatah kata. Wajahnya tampak serius.

    “Pintu,” katanya, “diciptakan agar setiap orang yang telah pergi masih bisa kembali. Dan ketika ia kembali, ada sepemelukan yang begitu hangat menyambutnya,”

Aku menyimak ucapannya, tapi tidak membalas, karena sepertinya ia belum selesai dengan kata-katanya.

    “Karena itulah aku duduk di sini. Aku ingin membayar tuntas rinduku yang sebenarnya kutujukan padamu. Apa perasaanmu masih sama dan menginginkan kita kembali seperti dulu?”

Dalam hati aku tersenyum. Sudah pasti aku menginginkannya. Namun ketika aku ingin membalas kata-katanya, mulutku bungkam. Bahkan tak bisa bicara barang sepatah pun tak bisa. Sial, kata-kataku sudah habis!

Syadzwina masih menunggu jawabannku. Senyumnya lama-kelamaan pudar melihatku yang tidak menjawab sepatah kata pun. Ia pun pergi sambil menangis, meninggalkan payungnya dan berlari di bawah derasnya hujan. Aku yang sudah kehabisan kata tak bisa memanggilnya. Aku memutuskan membiarkannya dan esok hari aku akan membalasnya. 

Akan tetapi esok dan hari-hari selanjutnya Syadzwina tidak pernah datang lagi ke kafe itu. bahkan sekali waktu aku duduk dari kafe itu dari waktu buka hingga tutup tak ada batang hidungnya di sana.

***

The First Days of Spring

The First Days of Spring (1929) by Salvador Dali
Di kota itu aku merasa asing.
Musim telah berganti tapi orang-orang
tidak peduli karena sibuk dengan
urusan masing-masing.

/1/
Seorang gadis kecil di sebelah timur
yang tiap malam telah kehilangan
malim cahaya, hanya berjalan
bilamana angin memainkannya.

“Dibeli, Tuan, airmatanya?”
“Maaf, gadis kecil, di rumah
pun rasanya belum kemarau.”

/2/
Beberapa depa dari situ
ada dua orang berdasi berseteru.

Mereka bergaduh banyak kata seru
dan tak akan berhenti sampai salah
satu di antara mereka memenangkan
seisi kota; dengking klakson, jalan raya,
taman-taman hijau, dan halaman berita.

/3/
Seseorang hanya menatap aktivitas kota
dari hampir di ujung jalan. Seperti ia
sempat angkat kaki, tapi kemudian tersadar
bahwa jalan-jalan kota sungguh tak memiliki
ujung. Jalur aspal yang menjulur hanya
lajur-lajur yang akan berakhir di pekuburan.

/4/
Di seberang jalan menghidar dari
kalut percakapan, dua sejoli selalu
bercinta di mana ada tabir membekap.

“Di mana kepalamu, sayang?”
“Jangan meledek! Kau tahu kepalaku
sudah pindah ke kemaluan sejak
mengabaikan suamiku tiga tahun lalu.”

/5/
Lebih jauh dari riuh permasalahan kota
ada lelaki tua tidak memikirkan apa-apa
kecuali satu hal: ia percaya, istrinya yang
sudah tak berkabar selama tiga tahun akan
kembali secepat ia pergi.

Lelaki tua itu hendak terus menanti,
bahkan ketika bayangannya sendiri
sudah pergi meninggalkan tubuhnya.

Di kota itu aku merasa asing.
langit senantiasa mendung tanpa meneteskan
sebutir hujan. Waktu tidak lagi diindahkan.
Apakah gerangan yang mengawasi kelimun
itu sejumlah kepala hering?