Desaku
terletak di tengah gurun pasir, gurun yang paling luas seantero bumi ini.
berada terpencil jauh dari keramaian kota. jika ingin pergi ke kota setidaknya
harus berjalan selama 4 hari, itu juga dengan menaiki unta.
Remaja
seumuranku tidak pernah ada yang merantau menyusuri gurun. Orang tua melarang
kami menuju ke kota sebelum umur kami di atas 25 tahun. terlalu berbahaya.
Memang
di gurun ini cuaca tidak bisa di prediksi seperti di kota. saat cuaca cerah
tidak menutup kemungkinan akan terjadi badai gurun di malam harinya. Jangan
pernah melihat cuaca dari tampilannya, begitu kata ayahku.
Walaupun
desaku bisa dibilang penduduknya masih primitif, tapi mereka hidup berdampingan
dengan damai. tidak pernah terjadi keributan antar tetangga, ataupun perang
saudara. Kita semua berdampingan dengan damai bersama kesederhanaan
Di
desa kami ada seorang gadis yang menjual air. Rumahnya ada di ujung jalan desa.
Ada hal yang janggal disana, bagaimana bisa di daerah gurun seperti ini dia
menjual air ? darimana dia mendapatkan air itu ? Yang membuatku janggal lagi,
gadis itu tidak pernah kehabisan stock
air barang seharipun
Mungkinkan
ia dapat dari air hujan ? tentu saja tidak. Disini hujan jarang sekali terjadi.
Sekarang saja sudah 1 tahun hujan tidak mengguyur desa tempatku berpijak. Atau
mungkin gadis itu mendapat air dari oasis ? sepertinya tidak mungkin juga,
oasis jauh dari desa kami.lagipula aku tidak pernah melihatnya keluar rumah,
selain menjual airnya.
Setiap
harinya penduduk mengantre di depan rumahnya sebelum fajar menyingsing karena
takut kehabisan. Mereka rela antre hingga berjam-jam untuk mendapatkan air yang
mereka butuhkan. tentu saja mereka rela melakukan itu, air merupakan salah satu
sumber kehidupan. Air bisa digunakan untuk mencuci pakaian sehari-hari,
memandikan hewan peliaraan penduduk, dan untuk mengusir tubuh dari rasa
dehidrasi. Sangat vital sekali fungsi air.
Setiap
penduduk diperbolehkan untuk membeli air maksimal membawa 5 liter. Itu
peraturan dari si gadis tersebut. Jika sudah membeli air dia boleh saja membeli
lagi, tapi harus mengantre mulai dari belakang. Peraturan ini diterapkan agar
semua penduduk rata mendapat pasokan air dan tidak ada yang tidak kebagian.
Suatu
hari aku disuruh ibu mengantre disana. memang benar-benar ramai, tapi tentu
saja walapun ramai kondisi disana masih kondusif dan terkendali, tidak ada yang
mengeluh dan protes tidak mendapat air.
dia
berambut panjang dan mempunyai hidung mancung. Bibirnya selalu terkatup rapat,
tidak pernah rentetan giginya terlihat. Mukanya selalu tampak murung. Entah dia
sedang sedih atau memang sudah tampangnya seperti itu. entahlah.
Setelah
membayar dengan 5 keping uang logam, dan memberikan wadah air, ia menuangkan 5
liter air kedalamnya. Tidak lebih, tidak kurang. Setelah itu ia kembalikan
wadah itu kepadaku tanpa berkata apa-apa. Aku mengucapkan terimakasih, dia
hanya membalas dengan mengangguk.
Sepulang
setelah membeli air, aku bertanya pada ibuku.
“bu, siapa nama
penjual air itu ?” tanyaku
“namanya Sahira, nak”
balas ibu yang sedang memasak makanan untuk sarapan
“mengapa gadis itu
tidak pernah terlihat selain saat menjual air saja ?”
“mungkin karena gadis
itu jarang bersosialisasi dengan penduduk sekitar, dia gadis pendiam”
“apa dia setiap hari
berjualan sendirian ?”
“sepertinya iya, ibunya
sudah meninggal karena sakit keras, tidak lama kemudian bergantian dengan kakak
pertamanya, lalu terakhir adiknya yang meninggal. sedangkan ayahnya pergi kota
tanpa pernah ada kabar” ibu menjelaskan
“kasihan sekali, lalu
apakah ibu tau darimana dia mendapat semua air yang tidak pernah habis ini ?”
aku bertanya kembali, masih dengan hati yang penasaran
“siapa peduli ? semua
penduduk tidak ada yang pernah mau tahu. yang penting gadis itu sudah
menyediakan air, dan penduduk membayar, sudah selesai urusan mereka”
Kata
ibu semua peduduk tidak ada yang pernah mau tahu. memang benar, tapi tidak
dengan aku. Aku penasaran sekali dari mana gadis ini mendapat air yang
berlimpah.
***
Keesokan
harinya, ketika senja perlahan-lahan mulai terbenam. Aku melewati rumah gadis
itu. rumah yang hening tanpa suara. Barang dagangan airnya sudah habis, sudah
dimasukkan ke dalam rumah. Sebelum matahari berada tepat di atas kepala, air
jualan selalu sudah habis. Tidak pernah tidak laku.
Perlahan-lahan
aku mulai mendekati rumahnya. Badanku gemetar sudah seperti bertemu dengan
hantu. Aku mencoba memberanikan untuk mengetuk pintu rumahnya. 3 kali mengetuk
pintu tidak ada orang menjawab, pintu terbuka sedikit, tidak terkunci.
“permisi” aku berbicara perlahan seraya membuka pintu.
Tidak ada orang menjawab. Rumahnya benar-benar hampa, tidak banyak barang.
Saat pertama memasuki
rumahnya, ada 1 gambar tergantung di dinding. Ada 4 orang disana, sepertinya
gambar keluarga Sahira. Ada gambar Sahira disana. di gambar itu Sahira sedang
tersenyum bersama, kakak, adik, dan ibunya. Diujung gambar tertulis nama Itje.
Sepertinya itu nama ayahnya. Aku pun seketika mengerti, ini adalah gambar
keluarga Sahira ketika keluarganya masih utuh, dan ayahnya lah yang menggambar
ini. aku bertaruh ayahnya adalah seorang pelukis handal. Setiap goresannya
seperti hidup, benar-benar seperti nyata lukisan ini.
Pasti
dulu keluarga ini adalah keluarga yang bahagia, kasihan Sahira harus menghadapi
kerasnya dunia sendirian.
Saat sedang menikmati
lukisan ayah Sahira. aku mendengar suara isak tangis dari arah belakang. aku
pun kembali berjalan hati-hati menuju ke dalam ruangan. Semakin masuk kedalam,
tangisan semakin keras.
Senja sudah terbenam,
bulan sudah siap menggantikan tugasnya. Cahaya bulan masuk melalui
lubang-lubang di rumah Sahira. Hembusan angin juga masuk melalui lubang yang
sama. Menyentuh kulitku yang ternyata bisa membuat bulu kuduk sedikit merinding
Dengan langkah kecil
dan perlahan aku masih menyusuri sumber suara isak tangis itu. Setibanya di
dapur yang sedikit sekali terisi perabotan memasak dan tidak terlalu besar, aku
melihat seseorang sedang menangis. Itu Sahira!
Dia tidak
berhenti-hentinya menangis. Keberadaanku saja tidak disadarinya. Sekarang aku
pun mengerti, Sahira adalah seorang gadis penjual air.
Gadis penjual air mata.
1 Komentar
ceritanya gak masuk akal, gak ada orang sampe nangis lima liter
Balas