Sampai bertemu lagi, Kapten!



1 Januari 2015. Pergantian tahun baru dirayakan di seluruh dunia dengan suka cita. Semua kalangan masyarakat, mulai dari para pejabat hingga gepeng di pinggir jalan, terjaga hingga larut hanya untuk menyaksikan kembang api yang menggelegar di langit-langit. semua gembira.

Semua orang bisa menikmatinya dengan caranya sendiri. Semisal minum teh di teras rumah, mendengarkan musik, atau hanya tidur di sepanjang hari. Namun, untuk pemain sepak bola professional di liga inggris harus menghabiskan perayaan tahun baru dengan bola. Tidak seperti Serie A, La Liga, dan liga-liga besar di belahan eropa yang memilih untuk meliburkan jadwal pertandingan ketika tahun baru.

Saya, atau mungkin kami, sebagai pendukung Liverpool tak bisa berlama-lama menikmati euphoria tahun baru. Malah kami harus menerima kesedihan yang tak pernah terbayang sebelumnya.

Malam itu Liverpool berhasil ditahan imbang oleh tim juru kunci liga, padahal awalnya berhasil unggul 2 gol lebih dulu dari sepakan sang kapten dari titik pinalti. Bukan, bukan hal itu yang membuat para fans sedih (sejujurnya kami sudah terbiasa dengan hasil buruk),  tapi kejadian berjam-jam setelah pertandingan itu.

Saya baru saja terbangun dari tidur. Melakukan ritual meminum segelas air putih lalu melihat apa yang terjadi di dunia lewat aplikasi bernama twitter. Ternyata pagi itu linimasa saya sudah ramai, akun-akun bola dan fanbase si merah membahas satu topik sama dengan kalimat yang berbeda-beda.
‘akhir musim Gerrard akan meninggalkan Liverpool’
Saya hanya bisa menggeram dalam hati. “lelucon macam apa ini?! ah mungkin saya masih bermimpi”

──


Pemain yang di cap sebagai pemain loyal menggegerkan dunia pesepakbolaan dunia. Stevie memilih hengkang dari klub yang sudah dibelanya sejak umur 8 tahun. Ia pun harus melepaskan label one-man-club, dimana pada era modern ini memang sulit dijumpai.

Icon, bintang, legenda hidup, kapten fantastic, bagaimanapun menyebutnya, pria itu bernama Steven George Gerrard.  Stevie pernah dipuja setinggi langit, tetapi belakangan ini banyak kopites sering mengkritisinya karena performanya yang buruk. Meski ada pula kubu berpandangan subjektif yang memuja Gerrard dan menginginkannya bermain di setiap pertandingan (saya dikubu yang subjektif).

Gerrard adalah Liverpool, Liverpool adalah Gerrard. Tidak bisa dipungkiri Gerrard adalah pemain paling dicintai oleh para kopites. Setajam apapun kritikan yang dilontarkan padanya adalah bentuk kecintaan yang begitu dalamnya pada sang kapten. Dan percayalah, sampai kontrak Gerrard yang akan habis di pertengah 2015 nanti. Tidak ada seorang pun yang akan mengkritisinya.

──

Suatu sore yang cerah di Liverpool, lebih tepatnya di Melwood, pemain-pemain dari Liverpool FC baru saja menyelesaikan latihan rutinnya. Semua pemain bergegas mandi. Namun, ada satu pemain yang masih duduk di gimnasium sendirian. Si pemain bernomor delapan.
Tidak lama berselang, seorang pria dengan raut wajah yang serius mendekati si pemain bernomor delapan
           
 “jadi gini capt, gue rasa performa lo dalam bermain udah menurun.”  pria tua itu berkata tanpa basa-basi. Si pemain bernomor delapan menyimak dengan takzim. Lalu si pria tua kembali melanjutkan perkataannya.
            
“gue rasa klub akan membatasi intensitas waktu bermain lo.”
Terjadi keheningan beberapa saat. Air muka si pemain bernomor 8 tetap tegas, tidak terkejut dengan perkataan si pria tua.
           
 “oke coach, lakukan apa yang terbaik menurut klub, gue bakal tetap berusaha memberikan yang terbaik meski harus bermain dari bangku cadangan.” ucap pemain bernomor 8.

ketika menyetir di perjalanan pulang, ucapan si pria tua terngiang-ngiang di pikiran pemain nomor delapan. ia sebenarnya tahu ini untuk kebaikan bersama, akan tetapi untuk pemain yang sudah bertahun-tahun menjadi pemain inti, hal ini sulit diterima. Timbullah perasaan yang hanya terpikir setelah malam pertandingan di Istanbul.

Ini waktu yang tepat.


──

Gerrard dan Liverpool ibarat sepasang suami istri yang sudah ditakdirkan bersama namun tidak pernah dikaruniai seorang pun anak.  Anak tersebut adalah trofi Primer League. 17 tahun bersama tanpa mendapatkan seorang ‘anak’ bukan hal yang mudah diterima oleh hati dan akal sehat. Walakin, bukan karena itu gerrard memutuskan untuk pergi. mencari pengalaman baru yang berbeda yang mendasari keputusannya meninggalkan sang kekasih.

Disaat menjelang kepergiannya, ia masih sempat-sempatnya memikirkan sang kekasih. Gerrard memastikan tak akan bergabung dengan tim rival atau tim manapun yang berkompetisi bersama Liverpool. Sesuatu yang tak akan pernah dilakukan oleh Robin Van Persie, Cecs Fabregas dan bahkan haram hukumnya bagi Zlatan Ibrahimovic.

Musim 2013/2014 Gerrard dan Liverpool hampir saja mendapatkan gelar yang selama ini diidamkan. Ya, hampir. tapi kata Ariana Grande, almost is never enough.

Setiap musimnya, trofi Primer League mendapat prioritas tertinggi pada resolusi klub Liverpool (termasuk pemain, stuff pelatih, para fans, dan tukang kebun Anfield). Namun dari setiap pemain Gerrard lah yang mempunyai ambisi terbesar mendapat gelar ini. sayangnya dia sendiri yang melepaskannya tahun lalu, lewat kepleset spektakulernya (meski sebenarnya bukan hal itu yang sepenuhnya menggagalkan juara).

──

pada masa keemasannya, Gerrard adalah gelandang yang tak kenal lelah. Ia juga siap menekel lawan yang dianggap mengambil bola miliknya. Sering, ia mengirimkan umpan jauh kedepan dan jika menurut dia jaraknya pa,s ia akan menendangnya langsung tanpa harus memikirkan rasionalitas sudut tembak .

Dan para penonton hanya bisa tercengang sembari berkata “kampret! Kok bisa?”

Ya, itulah Gerrard pada masa keemasan. Pada usia yang sudah tidak lagi muda, Gerrard tidak lagi bermain seenergik dulu. Bahkan statistik selama setengah musim ini berbicara bahwa Liverpool lebih sering menang jika Gerrard tidak menjadi starter.

Andai ia akan terus bermain di Anfield mungkin dirinya nanti akan jadi penghangat bangku cadangan seperti Totti atau Giggs.

Totti dan Giggs mempunyai kesamaan jiwa dengan Sutan Sjahir. Lebih memilih cara-cara yang moderat dan mengedepankan diplomasi dalam berurusan dengan lawan. Meski sering dicadangkan di usia senjanya, mereka tetap memilih bertahan di klub yang telah membesarkan namanya. Di bangku cadangan pun ia bisa membantu timnya dengan diplomasi dengan pelatih serta memimpin dan membimbing rekan-rekannya.

Gerrard pun bisa saja seperti itu. tapi, jiwanya bukan Sutan Sjahir. Jiwanya adalah Tan Malaka. Memilih cara revolusi sosial melalui perlawanan angkat senjata. Ia tahu betul, selama ia menjadi pemain professional ia akan berperang di lapangan, tidak dengan berdiplomasi di bangku cadangan. dan selama hatinya masih ingin bermain bola, ia akan terus bermain. – walau harus meninggalkan sang kekasih, Liverpool.

──

Untuk stevie
Dimana pun anda berlabuh, saya akan selalu mendukung penuh dan saya akan tetap menjadi fans berat anda.
Saya tidak akan mengucapkan selamat tinggal. karena semua yakin anda akan kembali ke club ini dengan rasa rindu yang tak terelakkan. Duduk bersama para petinggi klub lalu menandatangani kontrak sebagai kepala manager. Dan akhirnya anda akan melahirkan anak yang telah lama anda impikan, ‘trofi Primer League’

Sampai bertemu lagi, kapten!






sumber
foto : liverpoolfc.com
video : youtube.com

Previous
Next Post »
4 Komentar
avatar

Sedih sih waktu Stevie bilang mau cabut dari anfield. Banyak moment yang ga gue lupain dari dia. Mulai dari final instanbul dan final piala FA 2006 lawaN West Ham. Dan banyak yang bilang final itu adalah pertandingannya Gerrard, dia sendiri yang bawa Liverpool menyamakan kedudukan dimenit injury time lewat tendangan super kenceng. Gue ampe nangis nontonnya waktu itu :')

Balas
avatar

Meskipun gue MU. Tapi kok sedih juga ya baca ini. :(
Sabar bro, mungkin itu yang terbaik untuk Gerrard. :))

Balas
avatar

wah iya sama, merinding gue kalo setiap nonton cuplikan pertandingan itu. bener banget banyak moment yg gabisa dilupain, tapi kalo dia tetep stay kasian juga udah mulai jarang dimainin.

Balas
avatar

iya bro, semoga aja sih emang pilihannya tepat dan bisa ngangkat piala di club lain

Balas