Burung biru di dada
kami. Bukan burung garuda. Burung
garuda terbang terlampau tinggi, memandang
kami hanya
sebagai daging-daging santapan negara. Maka, kami
memilih mengabdi pada burung biru.
memilih mengabdi pada burung biru.
: Burung biru yang menyelamatkan burung kami membiru
karena tak mendapat jatah.
Burung biru yang menjauhkan
kami dari seteru dan masih bisa basah.
Kemeja biru yang mungkin tidak lagi baru selalu kami
Kemeja biru yang mungkin tidak lagi baru selalu kami
sematkan di tubuh kami. Kami
tidak mengeluh meski kadang
itu dibasahi peluh. Bertahun-tahun kami tahan
bermandikan
lampu-lampu dan rambu-rambu lalu lintas. Saat tersadar,
kami
mencintai jalanan. Kami kira hanya gembel dan para
polisi yang mencintai
jalanan. Ternyata kami juga mencintai
jalanan. Kala malam merangkak naik, kami
pun meniduri
setiap kilo jalan yang masih perawan.
Kami sekumpulan orang
yang juga jatuh cinta pada masa lalu.
Barangkali masa lalu masih memendam duka
dan luka
yang menganga. Tapi luka bisa menyembuhkan dirinya.
Dan masa lalu
selalu menyediakan lika-liku yang pasti.
Hari lalu menjelmakan
kami menjadi harapan-harapan yang putus.
Membuat kami jadi pembenci masa depan
yang ambisius. Sebab
langit masa depan senantiasa dikerubungi banyak tanda
tanya.
Serupa kepala wanita, masa depan selalu menyimpan teka-teki
yang sulit diterka.
Dan kami sudah terlalu lelah untuk berpikir lagi.
Teknologi adalah
antek-antek masa depan. Ia berusaha
menendang kami dari peradaban. Sedangkan
kami
butuh uang serimba hutan. Keluarga
kami butuh makan.
Burung-burung kami butuh asupan. Oleh karena itu,
bagi
siapa saja yang ingin menghadang dan menendang
kami dari jalanan; mengusik dan
mengusaki kedamaian
masa lalu kami, maka, seperti sabda Wiji Tukul,
hanya akan ada satu kata: Lawan!
***
terciptanya puisi ini sejatinya demi memenuhi tugas kuliah untuk membuat puisi. Saat sedang menonton tv
dan tak punya inspirasi, muncullah berita demo besar-besaran sopir taksi di jakarta waktu itu. Lalu tiba-tiba
saja saya mendapat inspirasi, lalu menuliskan inspirasi itu menjadi puisi yang baru saja Anda baca.
dan tak punya inspirasi, muncullah berita demo besar-besaran sopir taksi di jakarta waktu itu. Lalu tiba-tiba
saja saya mendapat inspirasi, lalu menuliskan inspirasi itu menjadi puisi yang baru saja Anda baca.
1 Komentar
sejatinya musuh mereka (mungkin) bukan teknologi, tetapi ketidak-setaraan regulasi
Balas