Epitaf Kata Kita di Suatu Kota


Kulihat kesedihan dari pekat kopi yang terseduh pagi ini.
Hitam, yang dalam pahitnya terselip sendu yang tenggelam.

Matahari masih menggantung di langit yang sama,
tapi hangatnya tak akan pernah sama lagi sampainya
di kulit kita.

Tidak ada lagi kita sedianya. Kata kita sudah beranjak
dari kau dan aku. Kalender memulas kita dengan warna
selain hitam dan merah di luar tubuhnya. Tidak akan ada
lagi kita hari ini, besok, tulat, tubin atau kapan pun.
Masa depan kita hanya akan ditemukan di masa silam.

Kenangan, satu-satunya tempat kita menyimpan angan.
Sekali waktu kau pernah berkata:
Aku mencintaimu sesederhana anak kecil
yang mengidam-idamkan sebuah balon.
Ketika seseorang merebut balon itu dariku,
apiku akan membakar belantara hutan.
Saat balon itu lepas dari genggaman,
aku akan menangis hingga menenggelamkan
suatu kota.


Aku membalas bahwa aku mau jadi balon itu.
Aku; jasad yang takut malam yang dingin,
hanya mau menjadi apa yang kau ingin.

Akan tetapi, semua kata-kata dari harilalu
kerap bakal jadi pengungsi pula di haridepan.
Setengah kata bertahan hidup, sebelah janji perlahan redup.
Karena bagi mereka—termasuk kita
yang ingar-bingar oleh dentum kuntum cinta,
kata-kata hanyalah janji yang akan ingkar diri.
Dan janji menjelma kita yang menolak untuk ditepati.

Langkah yang sempat kita tabung untuk haridepan
adalah makna yang hilang arah. Di wajah takdir,
kita sepasang semoga yang sudah pasrah.

Kini kau dan aku akan mengakhiri kata kita.
Kita; dua pengungsi masadepan
yang tidak bertahan hidup.


Previous
Next Post »
0 Komentar