Puisi Descendent of the Sun

Puisi di bawah ini terinspirasi dari drama korea yang saya suka yakni Descendent of the Sun. Drama ini bercerita tentang 2 tokoh yang saling mencinta namun kerap dipisahkan oleh pekerjaan mereka masing-masing. Si pria (Yo Shi-Jin) berprofesi sebagai tentara, dan si wanita (Kang Mo Yeon) adalah seorang dokter. Kebayang kan gimana pertemuan sulit hadir di tengah-tengah mereka.

Karena saya orangnya baperan, dan drama ini bisa menyentuh relung hati saya, saya pun tergerak untuk menginterpretasikannya menjadi puisi. Saya mencoba masuk ke jiwa Yo Shi Jin dan mencoba menuangkan apa yang ia rasakan. Mungkin sejatinya dia lebih sering memakai pistol sebagai senjata, bukan memakai kata-kata, namun bukankah kedua hal itu itu sama-sama berbahaya dan sama-sama harus digunakan dengan hati-hati?
 
*kalimat yang dicetak miring di puisi berikut adalah kalimat yang saya pinjam dari dialog filmnya.




***

Meluka Lupa
-Untuk Kang Mo Yeon

Bagaimana mungkin hujaman peluru di medan perang tidak pernah
menbinasakanku, namun parang matamu bisa membunuhku
berulang-ulang kali dan berkali-kali lebih ulung?

Apa kau sudah minum obatmu?

Alih-alih menyakiti diriku, luka tembak di perut ini merupakan
keberuntungan yang membawaku pada pertemuan denganmu.
sebetulnya, kau tahu, luka di dalam atau luar tubuhku seakan
menyembuhkan dirinya sendiri kala tiba ia bersua matamu.

Aku masih ingat ketika kita hampir menonton film kesukaan kita.
seharusnya itu menjadi salah satu waktu paling bahagia yang
pernah kualami. Memiliki seutuh senyummu, seolah-olah
lekuk itu hanya diciptakan untukku seorang.

Ini adegan yang paling ditunggu di bioskop,” ucapmu kala itu,
tepat sebelum lampunya dimatikan.

Ini saat paling kutunggu dalam hidupku,” balasku, “aku bersama
wanita cantik dan lampunya dimatikan.


Akan tetapi, sebelum film diputar, lagi-lagi aku harus meninggalkanmu.
Aku harus membela negara yang bersikeras dituruti. Pekerjaanku ini
kadang memang menyebalkan sekali. Ia kerap jadi kekasih pencemburu
dan membenci orang-orang yang kucintai. Dan kau adalah orang yang
paling ia benci. Jangan tanyakan mengapa.

Kini kewajiban itu menjaukan diriku lebih jauh dari wanita yang paling
kucintai; kau. Aku mengerti, kau sudah lelah terus menerus ditinggalkan.

Matamu berkaca. Yang mana pecahannya mencacah hatiku bertubi-tubi.
Perpisahan pun sudah menunggu di depan pintu. Siap membawa kita
pergi dari teduhnya renjana yang saat ini kita tempati.

Kurasa inilah waktu untuk kita menghenti upaya melukakan,
barangkali dengan cara mencoba saling melupakan.

Langkah kaki kita harus menjauh pergi,
bahkan sebelum kita benar-benar saling memiliki.




Previous
Next Post »
0 Komentar