Puisi yang Rumah

Image: @IrenaBuzarewich
Aku sembunyi di balik kamar yang tak sedemikian besar dari
kejamnya hari lalu dan sepi yang bisa menerkam kapan saja. Aku
masuk dalam kata membiarkan diriku berlarian seperti bermain
delikan. Sementara kata-kata enggan menutup mata namun tidak
mengucap apa-apa.

Kubiarkan kasur memeluk erat tubuhku yang berbilur. Cambuk
masa lampau, segenap imajinasi pinar berkilau. Kurentangkan
seprai tertumpah asin, bekas rasa sakit yang tidak sanggup
disembuhkan magainin. Gores terhadap garis kesedihan yang tidak
kesudahan.

Cat tembok sewarna biru. Menyimpan haru—barangkali sengaja
agar aku selalu mengingat limpahan masa lalu. Sebelum denyaran
masuk lewat jendela, hari depan telah terlanjur tiba sebagai
kekasih yang memendam cemburu.

Lantai rumah kedinginan. Meminta secangkir kopi yang
mengundang pulang perjalanan atau gedebak-gedebuk kaki yang
mengandung rasa penasaran. Ia harus menanti fajar. Menuntun
gelap malam seperti kunang-kunang. Menjaga pancar bulan,
wejangan, dan angan-angan.

Jadilah kutulis semua obituari pulang dan pergi. Riwayat dari ia
lahir sampai kembali ke pintu rumah bergerigi. Meski membuka
pintu artinya dapat membuat mimpi-mimpi menggugurkan diri.
tapi rumah tidak akan melenyapkan. Rumah, kata ibuku, bukanlah
pondasi megah berdiri pongah. Hanya mata, pada pelupuk yang
selalu menyimpan rindu saat kita pergi.



2015


Previous
Next Post »
0 Komentar