Must-Watch Series


Semakin kita besar, semakin banyak tanggung jawab, semakin sedikit waktu yang kita punya. Waktu 24 jam sehari rasanya masih kurang. Waktu terasa kian cepat berlalu. Perasaan kemaren presiden Indonesia masih Soekarno, sekarang udah Jokowi aja. Ngga terasa emang.

Keterbatasan waktu itulah yang membuat serial tv bisa menjadi alternatif hiburan pengganti nonton film. Serial biasanya cuma 50 menit-an doing satu episode (itu serial barat, kalau Indonesia bisa berjam-jam kali), sedangkan film rata-rata hampir 2 jam.

Keunggulan serial barat, nonton serial juga berasa nonton film, satu season paling cuma 10 episode, dan ceritanya variatif dan menarik. Nggak kaya serial Indo udah ceritanya ga jelas cuma kehidupan sehari-hari, episode berates-ratus (malah tukang bubur sampe 2000an kalau ga salah), dan durasinya berjam-jam (maap-maap nih bukan jele-jele in negeri sendiri, tapi emang jele ya mau gimana).

Selagi kita menunggu Indonesia memproduksi serial-serial berkualitas, sekarang ini gue mau ngasih serial barat yang menurut gue worth your time and for you who looking for some show to addicted to (It's better addicted to series than drugs or smoke, right?). Kalau lo sibuk, ya tonton aja 1 hari 1 episode, itu juga kalau lo mampu buat menahan diri buat nggak ngelanjutin episode selanjutnya. I know probably there are many shows out there, maybe hundreds of it that absolutely good but I don't mention down here. With so many TV shows to ponder over, I only chose six that I think is the best of the best and that really close to my heart. I'm pretty sure you will love it too.

1. Daredevil

Daredevil merupakan salah satu karakter superhero Marvel. Berbeda dengan film-film Marvel seperti Iron Man atau the Avangers, superhero di serial tv tidak hanya berfokus pada perkerjaan superhero yang selalu membasmi kejahatan. Di serial, durasi yang terbagi dalam beberapa episode memungkinkan untuk menelisik lebih jauh kehidupan personal si superhero; kehidupan di bidang pekerjaan, kedekatan hubungan dengan karakter-karakter lain, serta konflik sehari-hari. Singkatnya, lebih manusiawi-lah superhero di serial tv, termasuk daredevil ini.

Sosok daredevil sendiri adalah seorang pria tuna netra yang pekerjaannya sebagai pengacara di pagi hari, dan memberantas kriminal di malam hari. Meskipun ia superhero, ia tidak pernah membunuh, ia selalu percaya kalau jalur hukum bisa menghapus kriminalisasi yang ada di kota.

Kalau lo termasuk penggermar Toni Stark, Thor, dan kawan-kawan, dijamin lo juga bakal menikmati serial marvel ini. Rumornya para superhero di serial tv bakal muncul juga di film Avangers selanjutnya: the Infinity War.

2. Jessica Jones

Supernatural gift yang dimiliki Jessica Jones yaitu kekuatan super dan kemampuan untuk loncat tinggi. Tadinya ia memanfaatkan supernatural gift-nya untuk jadi superhero, tapi karena trauma yang dialaminya, ia memutuskan untuk menjadi private investigator (and she’s good at that job, the best one).

Pas lagi menyelidiki satu kasus, ia dipertemukan lagi dengan penyebab traumanya itu, yang juga bakal jadi musuhnya di serial ini, Killgrave. He is mind-controlling jedi shit.

Seperti superhero di seral tv lainnya, cerita lebih kompleks dan mendalam. Ini salah 2 dari 4 marvel hero yang diangkat ke layar tv. Tadi sebelumnya ada daredevil. Lainnya, ada pula Luke Cage dan Iron Fist, tapi 2 film itu menurut gue ceritanya kurang menarik. Jadi gue cuma merekomendasikan Daredevil dan Jessica Jones. Mereka semua ini nantinya bakal bersatu di The Defenders (macam the Avangers-lah) yang akan segera tayang bulan Agustus 2017 nanti. 

3. Riverdale

Riverdale berkisah tentang para remaja yang berusaha mengungkap kematian Jasson Blossom, yang hilang ketika ia bersama saudara kembarnya, Madeline Blossom, di hutan. Tempo berjalan perlahan. Sedikit demi sedikit di tiap episode fakta-fakta kecil dari beberapa saksi mulai bermunculan. Para remaja inilah yang nanti mengumpulkan serpihan-serpihan bukti yang menuntunnya ke pelaku pembunuhan.


Disamping itu serial ini sangat dekat dengan kehidupan remaja masa kini. Gadget, masalah persahabatan, cinta segitiga, segiempat, cinta trapesium, dan lain-lain. Yang menjadi daya tarik lebih di serial ini, artis dan aktornya cantiknya bikin lupa diri. Selera kawula muda banget deh.

4. 13 Reasons Why
Belakangan ini media sosial sedang ramai berita tentang bullying. Mungkin serial inilah yang bisa menunjukkan betapa besarnya dampak bullying sampai bisa membuat seoarang gadis SMA, Hannah Baker, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis. Ia mengungkapkan 13 alasannya dalam sebuah rekaman kaset yang ia tinggalkan dan mengalamatkannya ke setiap orang yang bertanggung jawab atas kematiannya.

Bukan hanya isu bullying yang diangkat serial ini, intimidasi, depresi, bahkan kekerasan seksual disinggung dalam cerita. Secara garis besar, serial ini seperti ingin menunjukkan mengapa seseorang sampai bisa bunuh diri dan juga ingin mencegah agar bunuh diri ini tidak terjadi di sekitar kita. Tanpa kita sadari, bisa jadi ada kata-kata kita atau tindakan kita yang menyakiti orang lain.
“No one know what’s really going on in another person’s life, and you never know what you do will affect someone else.”

5. The Walking Dead

Mungkin udah banyak yang denger series ini, atau dari namanya pun bisa ditebak kalau ini tentang zombie-zombie-an. Di tengah serangan virus zombie yang menyebar ke setiap titik kota, sejumlah orang yang selamat berusaha bertahan hidup dari itu.

Bertahan hidup. Di sinilah fokus series ini. Di awal-awal season, tampak musuh manusia hanya zombie-zombie, tapi seiring berjalan waktu, ketika persediaan makanan terbatas, tempat perlindungan sulit dicari, satu kelompok manusia mulai menyerang kelompok lainnya untuk mendapat apa yang mereka butuhkan.

Dari sini gue jadi tau ternyata manusia itu lebih serem dibanding zombie. Kalau zombie tujuannya jelas, yaitu cuma ingin memakan kita. Kalau manusia susah ditebak. Bisa jadi ia pengin mengambil sesuatu dari kita, tapi menyamar dulu jadi temen kita. Ngomong apa sih gue? Nonton aja dah.

6. Game of Thrones

Serve the best for the last. Inilah menurut gue series terbaik yang pernah gue tonton. Tiap kali ditanya, “serial ini tentang apa sih?”, jawabannya masih menjadi misteri buat gue. Kalau disuruh jelasin masih bingung gue harus jelasinnya gimana yang sesuai dengan kedahsyatan serial ini.

Intinya serial ini tentang perebutan tahta. Sembilan klan bangsawan berusaha mempertahankan nama keluarganya dan bertarung menguasai negeri. Sementara klan-klan besar berperang untuk memperluas pengaruh kekuasaannya, ancaman yang lebih besar siap menyerang mereka, The White Walkers, rombongan orang-orang mati yang datang saat musim dingin. Winter is Coming.

Game of Thrones ini film kolosal macam film 300 yang ngambil setting waktu di zaman kuno. Mungkin lo bakal bilang kalau lo ngga suka film kolosal. Kaya film 300 itu, gue juga ngga terlalu suka film kolosal sebenarnya. Tapi yang ini beda banget. Banyak unsur-unsur politik yang relevan dengan kehidupan sekarang, banyak adegan "you-know-what", ada fantasinya juga, banyak dah. Satu-satunya kekurangan serial ini yaitu serial ini enggak punya kekurangan!

Pokoknya terbaiklah ini series. Tonton aja coba. Kalau lo ngerti alur ceritanya, pasti lo juga bakal ketagihan deh. If you don’t enjoy this show, there must be something wrong in your head, that’s the best I can tell.



Kata-kata di Negeri Kita

 

Tepat hari ini, negeri sedang dilanda euforia tahun baru dan abad baru. Tahun ini adalah tahun 2100, teknologi sudah maju berkali-kali lipat dari abad-abad sebelumnya. Mobil terbang, rumah anti gempa, berbagai macam obat untuk penyakit langka pun sudah ditemukan. Hampir semua permasalahan di abad sebelumnya dicari solusi untuk menyelesaikannya.

Namun, ada masalah yang dari dulu tidak pernah bisa diselesaikan, yaitu masalah kebohongan. Sejak tahun 2000an sudah berbagai cara yang coba dilakukan untuk mengatasi kebohongan ini. Salah satunya dengan mencipta alat pendeteksi kebohongan, alat ini untuk mendeteksi fungsi organ tubuh yang bereaksi saat seseorang berbohong. Tapi seiring berjalan waktu alat itu mulai diragukan, para ahli menyatakan bahwa alat itu hanya bisa mengenali perubahan psikologi yang bereaksi pada isyarat, tapi tidak bisa mendeteksi kebohongan.

Ada juga cara yang menurutku sangat konyol, yakni dengan mendatangkan pesulap untuk menghipnotis orang yang akan dibongkar kebohongannya. Jadi si pesulap akan mengambil tisu dari kantungnya lalu membakarnya di depan korban. Sebelumnya, si pesulap berkata, “kau akan tertidur kalau melihat api” berkali-kali. Setelah melihat api korban pun tertidur, dan si pesulap akan mengorek seluruh kebohongan si korban. Sungguh konyol menurutku.  Aku tidak bisa menahan tawa ketika ayahku yang mendapat cerita dari ayahnya, menceritakan padaku.

Kebohongan dianggap berbahaya karena kebohongan merupakan akar dari berbagai macam masalah seperti perselingkuhan, penipuan, korupsi, pemerkosaan dan hal lainnya yang pasti tidak baik. Dan setelah diselidiki, banyak kebohongan yang tercipta akibat terlalu banyak kata yang keluar dari mulut besar manusia. Semakin orang banyak bicara, semakin banyak kebohongan yang dilontarkan. Kata-kata adalah alat yang bisa menipu manusia lainnya. Sehingga mulai hari ini, setelah pertimbangan matang-matang, presiden resmi mengeluarkan undang-undang baru; setiap warga di negerinya tidak boleh bicara lebih dari 500 kata per hari.

***

Enam bulan telah berjalan semenjak peraturan pembatasan kata diresmikan, dan hasilnya sangat menakjubkan. Negeriku yang tadinya merupakan peringkat keempat dalam hal terbesarnya terjadi korupsi, sekarang meluncur jauh kebawah hingga ke peringkat 200. Turun hampir 80%. Presiden saat ini, Jo Kiwo, mendapatkan banyak apresiasi dari Negara-negara di dunia. Beberapa Negara di dunia mulai mengikuti cara dari Jo Kiwo untuk memberantas kebohongan.

Beberapa pejabat dan petinggi negeri yang terlibat korupsi banyak yang mendekam di terungku. Satu-satunya cara para koruptor saling berkolusi dengan komplotannya yaitu dengan mengirim pesan dari gawai mereka, sebab 500 kata tidak akan cukup jika mereka berkumpul untuk berpanjang lebar menyusun rencana. Mereka mungkin lupa, ini adalah tahun 2100. Semua Gawai beserta seluruh isi di dalamnya sudah tersambung pada sistem komunikasi pusat. Dan orang-orang yang bekerja di dalamnya tahu lalu-lintas komunikasi dari gawai yang dimiliki setiap penduduk.

Buatku sendiri peraturan ini tidak terlalu berpengaruh, karena aku adalah seorang yang tak banyak bicara, sebelum atau sesudah peraturan itu ada. Aku biasa bicara dengan orang-orang terdekatku saja, aku terlalu malas untuk berbasa-basi. Basa-basi itu basi. Aku lebih suka membaca dan menulis. Malahan aku sangat mendukung peraturan ini. Aku merasa negeri ini sudah tidak banyak lagi orang-orang sok tahu yang bicara dengan kepala diangkat tinggi-tinggi selayaknya orang yang paling tahu, tidak ada lagi ibu-ibu bergunjing di depan rumahku, tak ada lagi suara-suara tak penting, aku sangat suka suasana yang lengang seperti ini.
Aku tidak butuh ke perpustakaan lagi untuk mencari kesunyiaan, di kafe-kafe pun aku bisa mendapatkannya. Seperti hari ini di sebuah kafe bergaya abad pertengahan, aku sedang melanjutkan menulis novel, suasannya di sini sangat sunyi. Awalnya memang berisik namun lama-kelamaan suara riuh rendah pun hilang. Ketika kata-kata habis orang-orang pun hanya sibuk dengan gawai di tangannya. Aku pun tahu kata-kata mereka sudah habis, aku hanya bisa tertawa melihat mereka. 

Kakekku senang sekali bercerita, tapi sayangnya aku tak pernah berjumpa langsung dengannya, dia sudah meninggal sejak aku lahir. Tapi ayahku sering menceritakan apa yang pernah diceritakan kakek. Kakek pernah bilang, tahun 2015 saat kakek masih seumuran remaja sepertiku sekarang, tanda-tanda ini—pertemuan yang dikuasai oleh gawai—sudah timbul. Kala itu kata-kata masih bebas, namun saat mengadakan perkumpulan dengan teman lama, sahabat, atau karib, mereka lebih sibuk bermain dengan gawainya.

Angka perceraian atau putus hubungan antara sepasang sejoli akibat perselingkuhan juga menurun. Tidak sedrastis tindakan korupsi, tapi tetap saja ini merupakan hal positif. Laki-laki hidung belang maupun perempuan jalang tidak mudah lagi mendapat lawan jenis hanya dengan kata-kata manis. Dan yang terpenting anggota dewan atau calon anggota dewan sudah tidak banyak yang berkoar menyampaikan janji-janji gombal. Penduduk kota akan memilih anggota dewan sesuai dengan tindakan yang telah mereka lakukan. Sungguh kemajuan negeri yang nyata.

***

    Ini jam satu siang. Cuaca cukup untuk memanggang kulit manusia yang berjalan menantang matahari. Orang-orang di luar berlalu-lalang menggunakan payung walaupun cuaca tidak hujan. Hal ini untuk mencegah kulit mereka dari sinar ultraviolet yang semakin tahun semakin panas saja. Aku yang sedang duduk di Kafe—selalu duduk di dekat kaca yang memandang keluar, sesekali memerhatikan orang-orang lewat tergesa-gesa. Dan aku sesekali pula mencuri pandangan ke arah wanita—yang duduk dekat kaca juga, tidak jauh dari tempatku terdiam.

Aku sepertinya mengenal wanita itu, aku juga merasa sekali waktu ia memandang ke arahku. Dari samping ia seperti wanita yang pernah kukenal dulu, bahkan sangat kukenal. Tapi dia yang kumaksud tidak mungkin ada di sini, dia sudah pindah ke tempat yang jauh, mengikuti ayahnya yang memang kerja berpindah-pindah. Banyak orang mempunyai kesamaan rupa, sebaiknya aku meneruskan saja novel yang tak kunjung kelar ini.

    “Permisi,” suara wanita dengan lembut memanggilku. Aku pun menoleh. Dan hampir saja mungkin jantungku ingin keluar karena terkejut melihat wanita itu, ternyata wanita itu memang benar dia. Belum sempat aku bisa menguasai diriku, ia kembali berucap.

    “Ascarya! sudah kuduga. Dari tadi aku memerhatikanmu, awalnya aku ragu kalau itu benar-benar kau, tapi ternyata itu benar kau.”

    “Sungguh sejak tadi aku juga menduga kalau itu kau, Syadzwina. Namun logikaku bilang, mana mungkin kau ada di sini.”

    “Lain kali cobalah terbiasa mendengar kata hatimu saja,” ucap Syadzwina menggodaku.

    “Baiklah.” Kataku, “Sudah berapa kata yang kau gunakan?”

    “Menyapamu adalah kata pertama yang aku keluarkan hari ini. bagaimana dengan kau?”

     “Aku pun.”

Syadzwina kini duduk di sebelahku yang memang sedari tadi tak ada yang menempati. Ia menaruh tas dan buku yang ia bawa di atas meja. 

    “Sepertinya kau sedang membaca ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ dari Eka Kurniawan,” kataku ketika melihat buku yang daritadi ia baca telentang di atas meja.

    “Ya begitulah, kau sudah membacanya, Ar?”

    “Tentu saja. Tentang Ajo Kawir yang burungnya tidak bisa berdiri, bukan?” Syadzwina tertawa. Ia tentu tahu, burung yang dimaksud merupakan arti burung secara konotatif. “Omong-omong, apa tujuanmu kembali ke kota ini?”

    “Sama seperti buku ini, ada rinduku yang belum tuntas.” Ia tersenyum.

Setelah itu kami meneruskan bincang tentang banyak perihal bagaikan bocah yang baru saja belajar bicara. Berbincang tentang aktivitas masing-masing, tentang kebiasaan Syadzwina dari dulu yang suka rambutnya dikuncir kuda, tentang aku yang setelah kepergiannya menjadi suka menulis, dan yang tak terlewatkan tentunya tentang peraturan baru ihwal pembatasan kata-kata.

Syadzwina tidak berubah. Dari rambut hingga ujung kaki masih sama, hanya tingginya saja yang bertambah. Cara bicaranya pun masih sama, seperti kami menjalin hubungan dulu, tak canggung seperti sepasang mantan kekasih yang baru bertemu. Dan setelah 3 tahun tak bertemu, ternyata perasaanku terhadapnya masih sama. Aku masih suka semua cara yang ia lakukan.
Kami dulu berpacaran, kemudian harus pisah karena ayahnya yang pindah kerja ke Singapur. Ia pun melanjutkan studi di sana. Sampai 4 tahun kemudian aku masih tak habis pikir, semesta mempertemukan kami di kafe ini.

Tanpa sadar 500 kata punyaku dan punyanya telah habis. Kemudian kami hanya bisa saling tersenyum.

Pukul 3 sore. Tangan kanan Syadzwina menepak punggung kiriku—tanda pamit. Aku mengangguk, dan ia pun keluar melewati pintu berkaca itu. Aku melanjutkan tulisanku, setelah pertemuan dengannya entah mengapa jari-jarinya menjadi lebih ringan untuk melanjutkan tulisan, kata-kata mengalir lancar dengan sendirinya.

Ketika hari tunggang gunung, aku bergegas pulang.

***

    Setiap Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selalu ada golongan yang pro dan kontra. Di depan Istana Negara sedang ada demonstrasi oleh sekumpulan orang yang menentang Undang-undang baru. Rata-rata para pendemo dikuasai oleh para pekerja yang membutuhkan banyak kata-kata untuk mencari uang. Perwakilan dari mereka berorasi secara bergantian, lalu ketika kata-katanya habis cuma bisa ber Ha-Ha-He-He-Ho-Ho sambil mengacungkan tinggi-tinggi kertas-kertas seukuran karton yang menuliskan keluhan mereka. Sedangkan yang golongan Pro—banyaknya orang-orang yang bekerja di penerbitan buku atau media massa, sedang duduk santai sambil menikmati peningkatan konsumen dari pembaca, sebab, acara televisi sudah banyak yang pailit. Sinetron-sinetron—yang sesungguhnya memang tidak ada yang mendidik—tidak ada lagi yang diproduksi. Bayangkan saja, tiap mengambil satu scene saja dalam satu hari kadang tidak selesai, bagaimana mau mengambil berpuluh-puluh bahkan ratusan scene? Belum lagi untuk acara gosip, satu acara setiap beberapa segmen harus bergonta-ganti penyiar karena kehabisan kata, yang otomatis membuat kepala stasiun televisi membutuhkan uang berkali-kali lipat untuk menambah banyak penyiar. 

Presiden Jo Kiwo tak memusingkan hal itu. Baginya, orang-orang itu hanyalah orang-orang yang putus asa. Jika satu sisi menyempit, di sisi lain pasti melebar. Jika satu pintu tertutup, pintu lain pasti terbuka. Mengapa orang-orang tidak mencari saja di sisi yang melebar itu, begitu kata Jo Kiwo yang dilansir oleh salah satu artikel yang sedang kubaca saat ini.

Daritadi Aku sedang berseluncur di internet membaca-baca berita hari ini. Seharusnya aku melanjutkan cerita novelku namun pikiranku sedang mandek. Bahkan secangkir kopi telah aku beli sudah tinggal menyisakan ampas saja, padahal biasanya kopi bisa mengundang inspirasi menulisku. Pikiranku terpaku pada Syadzwina yang tidak kunjung datang di kafe ini.    

Belasan orang sudah keluar masuk dari pintu berkaca bening di kafe. Aku menengok ke arah pintu setiap ada orang yang baru saja masuk, tentu saja aku menunggu kedatangan Syadzwina. Entah tengokan yang ke berapa, Syadzwina muncul dengan pakaian berwarna kuning terang dan rok hitam beberapa senti di bawah lutut. Lalu menaruh payungnya di dekat kasir—di tempat yang disediakan. Kemudian duduk di sebelahku, seperti yang sudah aku tunggu-tunggu. 

Ia meminta maaf atas keterlambatannya. Aku tidak menerima maafnya, karena dia tidak bersalah. Lagi pula kemarin aku dan dia tidak membuat janji akan bertemu di sini lagi.

Kami berdua pun mengucap kata pertama dan menghabisakan kata terakhir dengan orang yang sama. Kata-kataku habis untuknya dan kata-katanya habis untukku. 

***

    Hujan turun begitu deras. Ketika keluar dari stasiun bawah tanah Jakarta Kota, aku membuka payungku, lalu berjalan menuju kafe. Untuk mencapai kafe itu sendiri hanya butuh 10 menit dengan berjalan kaki.

Sebagian besar pejalan kaki berjalan hati-hati menyusuri trotoar di bawah hujan dengan payungnya. Sebagian lagi berlari seperti dikejar anjing seraya menutupi kepalanya dengan tangan atau tasnya dari tetesan hujan. Aku yang berjalan pelan, tiba-tiba ditubruk oleh seorang pejalan yang berlari seperti anjing itu. Aku terjatuh pada air yang menggenang. Payung yang kupegang terlepas beberapa langkah di belakang. Celana jeans dan kemeja yang kukenakan basah lumayan banyak. Aku meledak marah pada orang itu. Ia tidak tahu hari ini akan jadi hari spesialku. Aku akan menyatakan cinta pada Syadzwina, lagi. setelah pertemuan intens beberapa hari belakangan ini dengan Syadzwina, aku sangat yakin dia masih mencintaiku. Tidak mungkin dia tidak mencintaiku jika ia rela menghabiskan kata-katanya untukku selama seminggu terakhir ini. 

Dia yang hampir seluruh tubuhnya telah basah oleh air, meminta maaf. Aku masih terus berceloteh karena perbuatan cerobohnya ini. Memang tidak sering aku marah-marah pada orang, namun seperti yang tadi kubilang, hari ini merupakan hari spesial. Tapi ya mau gimana lagi, mau tak mau aku harus menemui Syadzwina dengan pakaian yang setengah basah ini. Udara dingin dan permintaan maaf berkali-kali sepertinya mampu meredam sulut api kemarahanku, kemudian aku mengambil payung dan melanjutkan jalan.
Sesampainya di depan pintu ia sudah duduk di tempat biasa. Kali ini ia tidak terlihat habis membaca buku yang seminggu ini ia terus bawa; Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Mungkin buku itu sudah ia selesaikan kemarin.

Syadzwina hanya duduk memandang keluar sambil menyeruput green tea panasnya sedikit-sedikit. Terpaku menatap hujan yang di luar sana. Bahkan kehadiranku pun tak disadari olehnya.

    “Maaf aku terlambat,” kataku menyadarkan lamunannya.

    “Kita kan tidak membuat janji apa-apa dari kemarin.”

    “Benar juga.” 

    “Aku sudah menyelesaikan buku ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’,”

    “Ya, lalu?”

    “Giliranku untuk menuntaskan rindu yang kusimpan,”

    “Maksudmu?”

    “Sebelumnya aku punya pertanyaan untukmu.”

    “Pertanyaan apa, Win?”

Syadzwina terdiam. Sejenak sunyi. Di sekelilingku hanya orang yang sudah kehabisan kata. Otomatis hanya suara hujan di luar kafe yang riuh di telinga.

Syadzwina memandang ke arah pintu di mana sesekali orang bergantian masuk dan keluar.

    “Kau tahu mengapa pintu itu dicipta?”

Aku hanya menatap Syadzwina yang masih memandang pintu. Tak menjawab sepatah kata. Wajahnya tampak serius.

    “Pintu,” katanya, “diciptakan agar setiap orang yang telah pergi masih bisa kembali. Dan ketika ia kembali, ada sepemelukan yang begitu hangat menyambutnya,”

Aku menyimak ucapannya, tapi tidak membalas, karena sepertinya ia belum selesai dengan kata-katanya.

    “Karena itulah aku duduk di sini. Aku ingin membayar tuntas rinduku yang sebenarnya kutujukan padamu. Apa perasaanmu masih sama dan menginginkan kita kembali seperti dulu?”

Dalam hati aku tersenyum. Sudah pasti aku menginginkannya. Namun ketika aku ingin membalas kata-katanya, mulutku bungkam. Bahkan tak bisa bicara barang sepatah pun tak bisa. Sial, kata-kataku sudah habis!

Syadzwina masih menunggu jawabannku. Senyumnya lama-kelamaan pudar melihatku yang tidak menjawab sepatah kata pun. Ia pun pergi sambil menangis, meninggalkan payungnya dan berlari di bawah derasnya hujan. Aku yang sudah kehabisan kata tak bisa memanggilnya. Aku memutuskan membiarkannya dan esok hari aku akan membalasnya. 

Akan tetapi esok dan hari-hari selanjutnya Syadzwina tidak pernah datang lagi ke kafe itu. bahkan sekali waktu aku duduk dari kafe itu dari waktu buka hingga tutup tak ada batang hidungnya di sana.

***

The First Days of Spring

The First Days of Spring (1929) by Salvador Dali
Di kota itu aku merasa asing.
Musim telah berganti tapi orang-orang
tidak peduli karena sibuk dengan
urusan masing-masing.

/1/
Seorang gadis kecil di sebelah timur
yang tiap malam telah kehilangan
malim cahaya, hanya berjalan
bilamana angin memainkannya.

“Dibeli, Tuan, airmatanya?”
“Maaf, gadis kecil, di rumah
pun rasanya belum kemarau.”

/2/
Beberapa depa dari situ
ada dua orang berdasi berseteru.

Mereka bergaduh banyak kata seru
dan tak akan berhenti sampai salah
satu di antara mereka memenangkan
seisi kota; dengking klakson, jalan raya,
taman-taman hijau, dan halaman berita.

/3/
Seseorang hanya menatap aktivitas kota
dari hampir di ujung jalan. Seperti ia
sempat angkat kaki, tapi kemudian tersadar
bahwa jalan-jalan kota sungguh tak memiliki
ujung. Jalur aspal yang menjulur hanya
lajur-lajur yang akan berakhir di pekuburan.

/4/
Di seberang jalan menghidar dari
kalut percakapan, dua sejoli selalu
bercinta di mana ada tabir membekap.

“Di mana kepalamu, sayang?”
“Jangan meledek! Kau tahu kepalaku
sudah pindah ke kemaluan sejak
mengabaikan suamiku tiga tahun lalu.”

/5/
Lebih jauh dari riuh permasalahan kota
ada lelaki tua tidak memikirkan apa-apa
kecuali satu hal: ia percaya, istrinya yang
sudah tak berkabar selama tiga tahun akan
kembali secepat ia pergi.

Lelaki tua itu hendak terus menanti,
bahkan ketika bayangannya sendiri
sudah pergi meninggalkan tubuhnya.

Di kota itu aku merasa asing.
langit senantiasa mendung tanpa meneteskan
sebutir hujan. Waktu tidak lagi diindahkan.
Apakah gerangan yang mengawasi kelimun
itu sejumlah kepala hering?

Galacidalacidesoxyribonucleicacid

Galacidalacidesoxyribonucleicacid
Salvador Dali (1963)

Apa yang akan diucap musim panas
saat bandang airmatamu muskil dibendung
dan kemarau tak kuasa meringkai
pikiran sungai yang meluap ke kota
dan melupa aliran semestinya?

Apa sungguh para lelaki sedia
saling bunuh hanya demi menjelma
seekor ikan yang bakal renangi
kolam matamu yang mokal gersang itu?


Gincu Merah Itu, Untuk Siapa?

Gincu Merah Itu, Untuk Siapa?
hdwallpaper

Akhir-akhir ini hubungan Aswad dan Sita semakin merenggang saja. Sebagai pasangan suami-istri mereka seringkali mempermasalahkan hal yang sesungguhnya tidak harus dibesar-besarkan. Namun masalah sebenarnya adalah, Aswad merasa Sita sudah berubah, ia merasa cinta Sita padanya sudah berkurang—atau malah sudah pudar. Bahkan Aswad sudah lupa kapan terakhir mereka membicarakan tentang cinta. Padahal, Aswad sudah menjalani tugasnya sebagai suami dengan baik. Ia memberikan uang bulanan, tidak pernah bicara kasar—apalagi berbuat aniaya, dan ia tidak pernah selingkuh. Apa jangan-jangan Sita yang sudah main di belakang?

Pikiran seperti itu sontak singgah di benak Aswad. Ia bukan mencurigai istrinya itu, tapi ya bagaimana lagi, ia tidak menemukan kalimat yang tepat untuk menjadi alasan Sita menjauh darinya dan tidak menemukan kalimat yang tepat pula untuk mengganti “apa jangan-jangan Sita yang sudah main di belakang”.

Aswad mempunyai rencana untuk mengetahui apakah istrinya benar-benar selingkuh atau tidak. Ia mengambil cuti selama satu minggu dan membuntuti Sita kemana pun ia pergi. Pagi hari Sita berangkat ke kantor dengan Honda jazz hijaunya, lalu 5 menit kemudian Aswad memberhentikan taksi untuk mengekor Jazz hijau. Sita menuju apartemen Rona—Sahabat Sita dan juga sahabat Aswad—untuk menjemputnya. Sesampainya di gedung kantor mereka berdua keluar seraya tertawa-tawa kemudian masuk ke gedung.

Ketika petang menjelang, mereka pulang. Aswad sudah menunggu di seberang gedung dan kembali membuntutinya. Mobil Sita menuju apartemen, mengantar Rona pulang. Di apartemen ini mobil Sita terparkir cukup lama, Sita ikut turun berjalan menuju kamar apartemennya. Walaupun lama Aswad sabar menunggu demi mencari kebenaran sesungguhnya.

Selama seminggu itu ia tidak menangkap Sita beriringan dengan lelaki lain. Sepulang dari kantor Sita lebih sering menghabiskan waktunya di apartemen Rona. Satu hari Aswad mengikuti istrinya berjalan ke bar, hari lainnya berbelanja ke mal, akan tetapi semua dilakukan bersama Rona, tidak ada seorang lelaki pun disampingnya.

Pasti ia selingkuh, pasti! Aku hanya belum menangkap basah saja!
—————
Memasuki waktu senja di hari Kamis, ruang kelas masih gaduh oleh percakapan para mahasiswa. Dosen tata bahasa yang harusnya mengajar hari ini belum datang. Namun 15 menit kemudian pintu kelas terbuka, dan sesosok pria yang tidak lain adalah dosen tata bahasa masuk ke dalam kelas. riuh-rendah di kelas pun penyap.

Para mahasiswa terpaku melihat si dosen. Dosen itu lebih cocok menjadi Artis, dan dosen itu memupus kacamata mahasiswa yang beranggapan kalau kebanyakan dosen itu pasti tua renta, dan juga kepalanya pasti botak—mitos menganggap semakin pemikir seseorang, semakin botak kepalanya.

    “Namanya Aswad,” kata Rona.

    “Ia terlihat masih muda sekali. Aku yakin mungkin usianya sekitar 23 atau 24 tahun,” ucap Sita yang masih memandangi Aswad.

    “Lebih tepatnya 25 tahun.”

    ”Bagaimana kau bisa tahu, heh?” Pandangan Sita sontak beralih ke Rona, muka keheranan tampak di Wajah Sita.

    Rona mendekatkan bibirnya ke daun telinga Sita, membisikkan sesuatu. “Dia itu tetanggaku sekaligus sahabatku dari kecil.”

     “Ah…yang benar?” pernyataan itu membuat Sita terkejut.

    “Kapan aku berbohong padamu, Ta? Tapi diam-diam saja kau, aku membuat kesepakatan dengannya kalau di kelas ini aku dan dia tidak saling mengenal,”

    “Tapi di kelas tata bahasa ini nilaiku pasti A kan?” Sita senyum menggoda.

    “Dasar, Kau! Iya nanti aku akan bilang dia agar memberikan nilai A untukmu dan untukku,” Rona memandang sinis, “O iya, hati-hati kau, jangan sampai jatuh cinta padanya!”

    “Tentu tidak akan, Rona.”

Sita berteman dengan Rona sejak pertemuan pada orientasi mahasiswa. Saat itu, Mereka berdua dihukum berdiri di depan pagar karena memakai kuncir di rambut berwarna merah, sedangkan panitia ospek saat itu sudah menyuruh untuk memakai warna hitam. Sebelumnya, mereka tidak saling kenal, tapi mengapa mereka berdua bisa sama-sama salah dengan warna yang sama pula? Padahal kemungkinan warna yang dipilih cukup banyak. “Mungkin kita jodoh,” kata Sita kala itu. Mereka pun mencuri-curi tawa di depan senior-senior yang memasang muka garang.

Setelah itu ternyata mereka dipertemukan lagi di kelas yang sama. Mereka pun menjadi sahabat yang sangat dekat. Melakukan apa-apa selalu bersama, membeli baju, menonton bioskop, berenang, dan apapun diusahakan untuk melakukannya bersama.

Sita juga sering bermain di rumah Rona tapi ia tidak pernah melihat Aswad—mungkin  pernah lihat sepintas namun ia tidak ingat. Pantas saja saat Aswad masuk kelas Sita merasa seolah-olah wajahnya tidak asing, seperti pernah melihatnya.

Kini, ketika Sita sudah tahu bahwa Aswad tinggal di sebelah rumah Sita, kadang ia bertanya-tanya pada Sita perihal Aswad. Tak jarang juga Sita dan Aswad bertemu di depan rumah, lantas mereka pun saling menyapa dan bercakap-cakap—sebagaimana hubungan dosen dengan mahasiswanya.

Aswad pun juga sering bertanya-tanya tentang Sita pada tetangganya itu. Bertanya makanan kesukaannya, musik kesukaannya, bahkan hal-ikhwal yang tidak penting, jika Rona meladeni terus mungkin Aswad akan bertanya berapa banyak jumlah tahi lalat di badan Sita. Dasar laki-laki memang serba pengin tahu!

Pertemuan yang semakin sering membuat Aswad menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar hubungan dosen dengan mahasiswanya. Ia jatuh cinta pada Sita. Mereka pun menjalin hubungan sebagai kekasih. Dan setelah Sita mendapatkan gelar sarjana sastranya, Aswad langsung meminangnya.
—————
Ada 2 hal yang tidak bisa dihindari Rona. Pertama, takdir Tuhan dan kedua, Sahabat nan juga sekaligus mantan tetangganya yang mengajak untuk ketemuan. Beberapa jam yang lalu Aswad menghubungi Rona meminta untuk menemaninya makan siang. Jika Rona menolaknya pasti ia terus dihantui bagai manisnya kenangan masa lalu yang tak mau lepas. Aswad akan mengendus seperti anjing pelacak. Dan Rona tidak mau nanti Aswad mengunjungi apartemennya, banyak pakaian-pakaian wanita berserakan dan malas dirapikan Rona.

Sejatinya Rona selalu berusaha sejarang mungkin bertemu dengan Aswad. Setiap melihat Aswad, perasaan kesal, cemburu, geram mengalir entah dari hulu di hatinya yang mana, Apalagi jika mereka sudah berkumpul bertiga: Aswad, Sita, dan Rona. Perasaan cemburu Rona menyembul saat Aswad memegang tangan Sita, mencium keningnya, dan melakukan perlakuan romantis yang seharusnya tidak diberikan pada Sita. Dan Rona hanya bisa menyembunyikan emosinya saja sambil memakan makanan yang terhidang di meja saat itu.

Mereka bertiga pernah duduk satu meja hanya dua kali, saat hubungan Aswad dan Sita masih hangat-hangatnya dan ketika mereka mencanangkan hari pernikahannya, dan Rona adalah orang yang pertama kali tahu—serta yang pertama sakit hati.

Sesuai dengan ajakan makan siang Aswad, maka di situlah mereka berada, duduk berhadapan di sudut sebuah kedai dekat stasiun. Tidak banyak orang pada Sabtu siang—yang menjelang sore—itu. Di sudut lainnya, sekumpulan anak muda terpingkal-pingkal serta asap rokok merojol di antara percakapan mereka.

    “Jadi istrimu tidak tahu kita di sini?” Tanya Rona.

    “Tidak,"

Aswad langsung teringat istrinya di rumah yang selagi Ia berangkat sedang di kamar entah melakukan apa. Sebetulnya dalam hati Aswad ada perasaan yang mengganjal. Meski Aswad hanya bertemu dengan sahabatnya, bagaimanapun juga ia bertemu dengan wanita lain.

    “Pasti ini tentang istrimu, kan?

    “Aku mulai takut kau bisa membaca pikiran,”

Mereka berdua tertawa. Tak lama kemudian pelayan kedai membawa pesanan Aswad, mi instan dengan kuah susu serta milkshake caramel. Lalu diikuti pesanan Rona, soto betawi dan lemon tea. Mereka berdua pun melahapnya pelan-pelan, dengan senda gurau yang sesekali terlontar. Setelah makanan mereka sudah habis, barulah Aswad menceritakan masalahnya.  

    “Apa kau tahu sesuatu, mengapa belakangan ini sifat Sita terhadapku berubah?”

    “Mungkin sedang kedatangan tamu bulanan,”

    “Kurasa bukan. Ia terlihat seperti…tidak mencintaiku lagi.” kata Aswad, “Aku yakin ia pasti selingkuh di belakangku,”

    “Apa yang membuatmu menyimpulkan demikian?”

    “Bayangkan saja. Seringkali ia pulang larut malam dengan bibir yang bergincu merah darah, padahal paginya ia tidak memakai gincu setebal itu. Suami mana yang tidak cemburu melihat istrinya memakai gincu tapi tidak ditujukan untuknya?”

Rona terdiam, tidak tahu harus membalas apa.

    “Apa menurutmu,” lanjut Aswad, “aku menceraikannya saja?”

    Sejenak suara lengang, tidak ada suara di meja mereka. Tawa dari percakapan anak muda di meja lainnya terdengar jelas.

    “Itu masalah rumah tanggamu, Wad,” balas Rona, “Aku tidak berhak memutuskan apa kau harus bercerai dengannya atau tidak, tapi aku mengingatkanmu ikatan perkawinan itu tidak seperti saat kau masih pacaran, tidak bisa memutuskan begitu saja hubungan secara sepihak. Dan baiknya kau mempertahankannya saja.”

    “Nah, jika menurutmu harus dipertahankan, walaupun kau sahabatnya, seharusnya kau berkata jujur padaku. Apa dia selingkuh dengan lelaki lain?”

    “Tidak,”

    “Sungguh?”

    “Sungguh.”

    “Sumpah?”

    “Sumpah, Aswad!” tegas Rona, “Ayolah Wad, cemburumu itu berlebihan. Bilik tempat ia bekerja juga berhadapan denganku, jadi aku tahu siapa saja yang menemuinya, ia tidak pernah jelalatan dan tidak ada pria mana pun yang menggoda Sita, semua orang di kantor juga sudah tahu Sita sudah diperistri.”

Rona bergumam dalam hati, Tidak akan aku ampuni jika Sita memang selingkuh!

Aswad menghela napas, kalut marut di benaknya sedikit memudar mengetahui Sita tidak membabi jalang dengan lelaki lain.
—————
Hari sudah gelap. Sepulang dari pertemuan dengan Aswad, Rona kembali ke apartemenya. Ia menghela napas dan menyandarkan tubuhnya di sofa. Di depannya televisi sudah menyala, dan terdengar pula suara gebyar-gebyur dari kamar mandi.

Tidak lama kemudian, dari belakang ada pelukan melingkar di leher Rona, pemilik tangan itu mencium tengkuk putih nan halus milik Rona, sementara handuk putih masih melilit sebagian tubuhnya.

    “Lelah?” tanya Sita dengan suaranya yang lembut.

    “Ya begitulah, suamimu rewel sekali.” balas Rona.

    “Sudahlah tak usah dipedulikan,”

    “Kadang aku kasihan juga, dia sepertinya sangat mencintaimu.”

    “Tapi aku kan hanya mencintaimu, sayang.” Rona pun tersenyum.

Sita menuntun Rona ke kamar. Ia melepaskan handuk putihnya. Rona jua menanggalkan pakaiannya satu per satu. Mereka berjalan ke kasur tanpa satu helai pun pakaian kecuali rambut Sita yang masih sedikit basah dan bibirnya yang sudah memakai gincu berwarna merah.
—————


2014

The Persistence of Memory

The Persistence of Memory
The Persistence of Memory (1931)
Di tubuh mimpi, kita menjebak waktu
dalam jam-jam dinding lebih dari satu.
Kita ragami mereka dengan rona yang
sukar ditampik ingatan; warna petang,
bulat bola mata, dan kelabu harapan.

Di luar mimpi, kita hanya kerinduan
yang enggan tatap-muka. Kehidupan kota
telah menjauhkan langkah kaki dan kesibukan
melelehkan semua waktu yang kita miliki.

Waktu paling manis; bercat oranye
karena darah dan tangis, habis
dikerubungi gerombol semut.

Waktu lainnya suluh bulan dan
berjatuhan di berbagai tempat;
di ranting pohon yang dikalahkan
kemarau panjang, di selimut yang
dulu kerap dipakai untuk menyingkap
tubuh kita, di ujung batu yang siap
lebur mengempas tanah.

Kita pun hanya bisa memandang
pengingat waktu bertumbangan
dari langit, seraya mempertanyakan;
leleh waktu atau lelah kau dan aku
yang menghabisi seluruh jam dinding?




────────────────────
-Puisi ini terinspirasi dari lukisan Salvador Dali
-Tersiar di Pikiran Rakyat edisi Minggu, 20 November 2016. Dapat dijumpai pula di situs Klipingsastra

One Day One Film

Tahun 2016 emang yang paling-paling. Setelah menjadi tahun paling banyak membaca, juga menjadi tahun terbanyak saya menonton film.

Kalau Kota Depok punya program one day no rice, saya punya program one day one film. Jadi tiap hari setidaknya ada satu film yang saya tonton. Namun sebagaimana program-program pemerintah yang tak selalu berjalan mulus, kadang program one day one film ini juga begitu. Kadang terbentur dengan ketersediaan waktu juga.

Saya termasuk penonton film omnivora. Penikmat segala film dengan berbagai genre, baik itu action, komedi, sci-fi, horor, thriller, drama, atau romance. Saya jarang nonton film dari dalam negeri (maafkan), lebih sering menonton film Hollywood. Selain itu, saya juga menonton film dari Bollywood, Britania Raya, Perancis, Rusia, Amerika Latin, Jepang, bahkan Korea pun saya tonton. 

Sebetulnya kesenangan menonton film sudah sejak lama. Cuma baru tahun 2016 aja makin getol menonton

Walaupun saya suka menonton film, saya jarang ke bioskop. Lebih sering nonton di laptop dari download ilegal, atau beli dvd bajakan di abang-abang. Ya, tidak seharusnya ini ditiru, tapi saya selalu menganggap download ilegal dan beli bajakan produk luar adalah perlawanan kecil melawan sepak tejang kapitalisme.
(Halah alasan, bilang aja nggak ada duit!)
───
Oleh sebab menonton film, saya jadi punya hobi baru, yakni men-screenshot dialog-dialog keren, lucu, pokoknya yang menarik lah. Buat yang mau nulis dialog untuk karya fiksi seperti cerpen atau novel, belajar dari dialog film yang bagus adalah cara terbaik untuk membuatnya.

Yang bisa menyebutkan dari film apa semua fragmen-fragmen ini saya ambil, berarti kalian luar biasa.













 
───
Berhubung saya sedang mengenyam studi di jurusan sastra Inggris, bisa berbahasa Inggris adalah sebuah tuntutan tak terelakkan. Saya sadar film itu bukan hanya sebagai hiburan, tapi bisa jadi wadah menyenangkan belajar bahasa Inggris.

Maka dari itu sebisa mungkin pasti saya prioritaskan menonton film daripada belajar bahasa inggris dari buku-buku kuliah.

Dari film juga saya bisa mengamati budaya dan cara berpikir orang-orang sana. Ya, budaya dan cara berpikir, merupakan kesatuan penting dalam mempelajari bahasa asing. 

Menukil perkataan Benedict Anderson dalam memoarnya Hidup di Luar Tempurung, “Mempelajari suatu bahasa bukanlah semata-mata mempelajari sarana komunikasi linguistik. Melainkan juga mempelajari cara berpikir dan cara merasa dari suatu kelompok manusia yang bicara dan menulis dengan bahasa yang berbeda dengan kita. Berarti juga mempelajari sejarah dan budaya yang menjadi landasan pemikiran dan perasaan mereka itu, dan dengan demikian belajar berempati pada mereka.”
───
Karena ingatan terlalu lemah untuk mengingat semua yang saya tonton, saya pun membuat akun IMDb untuk menandai film-film yang sudah saya tonton. Ada lebih dari 150 film yang saya tonton. Saya akan mendaftarkan beberapa film yang menurut saya bagus yang saya tonton di tahun 2016.

1.    Now You See Me 2 (2016)
2.    Zootopia (2016)
3.    Don't Breathe (2016)
4.    She's Funny That Way (2014)
5.    Silver Linings Playbook (2012)
6.    Midnight in Paris (2011)
7.    3 Idiots (2009)
8.    The Blind Side (2009)
9.    Crows Zero (2007)
10.  The Da Vinci Code (2006)
11.   Love Actually (2003)
12.   The Pianist (2002)
13.   Catch Me If You Can (2002)
14.   Saving Private Ryan (1998)
15.   Mallrats (1995)
16.   Before Sunrise (1995)
17.   Little Women (1994)
18.   Schindler’s List (1993)
19.   Reds (1981)
20.   Manhattan (1979)
21.   Sleuth (1972)
22.   2001: A Space Odyssey (1968)
23.   The Killing (1956)
24.   The Bachelor and the Bobby-Soxer (1947)
25.   His Girl Friday (1940)
26.   Bringing Up Baby (1938)
27.   It Happened One Night (1934)