![]() |
illustration from here |
27 Maret 2014
Untuk
perempuan yang mencintai senja
Hai Zefanya, bagaimana kabarmu ?
semoga kamu bahagia karena seharusnya memang begitu. Percaya atau tidak,
kesedihanmu adalah mimpi buruk bagiku, jadi walaupun kita sudah tidak bersama
lagi kamu harus tetap bahagia dengan hidupmu.
Apakah kamu masih suka bercerita
pada senja ? hobi kamu ini kadang memang aneh.
Aku ingin sedikit bernostalgia di
surat ini, Fa. Tidak apa-apa kan ?
Kamu ingat ketika pertama kali
kita bertemu ? di sebuah pantai yang indah di Bali, di Kuta. Kamu sedang duduk
sendirian menatap senja. Menatap serius kepadanya seakan akan kamu sedang
bercerita kepada senja. Sesekali kamu menutup mata, menghirup udara kuta yang
damai, lalu menghembuskannya bersama semua masalahmu. Setelah itu bibirmu
langsung menggoreskan senyuman. Setidaknya itu yang kulihat, tidak tahu benar
apa yang kau rasakan
Tanpa kamu sadari aku mengambil
gambar dengan kamera DSLR ku. Dan aku mendapatkan candid shot yang sangat sempurna. Saat kita pacaran aku belum
pernah menceritakan padamu, karena aku tau ini kurang sopan memfoto orang tanpa
meminta izin hehehe
Setelah itu aku mendekatimu, memberanikan
diri mengeluarkan kata untuk menyapamu
“sedang apa ?” aku bertanya
“tidakkah kau lihat ?” jawabmu datar
“menatap senja ?”
“benar. Lebih tepatnya
mencurahkan hati pada senja”
“bagaimana bisa ?”
“susah dijelaskan, yang pasti
senja tidak akan pernah berdusta”
Senja
tidak akan pernah berdusta. Itu perkataanmu yang tak pernah aku lupakan.
Kadang aku menganggap mencurahkan hati pada senja adalah hal bodoh, tapi
bodohnya lagi aku mulai percaya dan terkadang sekarang aku melakukan tindakan
yang sama, mencurahkan hati pada senja. Seharusnya kamu tanggung jawab Fa atas
hobi baruku ini.
Aku masih tenggelam dalam pikiranku
yang berusaha memahami perkataanmu. Bagai angin yang tiba-tiba menghempas
gordeng jendela, aku teringat bahwa aku belum mengetahui namamu.
“oh iya kita belum kenalan” aku mulai
bertanya disaat kita sedang sama-sama menatap senja
“iya ya, namaku Zefanya”
“aku Bintang”
“seperti nama perempuan” kamu
tersenyum simpul. Itulah kali pertama aku melihat senyumanmu yang ternyata
dapat menenggelamkan dalam lautan kebahagian yang membuatku harus menahan napas
sejenak.
Kamu
melanjutkan perkataan “maaf ya, aku hanya bercanda”
“tidak apa-apa, lagipula kamu bukan
orang pertama yang bilang begitu”
Jujur, sejak pertemuan pertama
kita saat itu aku langsung jatuh cinta padamu, Fa. Aku merasa ada sesuatu yang
berbeda yang tersimpan dalam dirimu. Berbeda dengan kamu yang tidak percaya
dengan cinta pada pandangan pertama, seperti yang pernah kamu bilang.
Aku mulai mendekatimu dengan sekedar mengajak
makan siang bersama atau menonton film di bioskop. Pertemuan kita pun semakin
sering. Cinta di dalam diriku semakin liar dan tidak terkendali. Aku menyatakan
cinta tepat di Kuta pada saat langit sedang senja. Karena menurutmu senja itu tak pernah berdusta. bukankah
begitu, Fa ?
Tahukah kamu, Fa ? Itulah saat-saat
paling bahagia dalam hidupku, bisa menemukan orang yang palingku cinta. setelah
aku menyatakan cinta, kamu menerimaku walaupun sebenarnya kamu bilang terlalu
cepat. Lalu kita saling menjaga dan berbagi cerita, berbagi cinta. cinta yang
tidak akan ada akhirnya, menurutku.
Tangan kita saat itu sudah tidak
mempunyai celah, bergenggam dengan erat. Aku ingat sekali hal-hal konyol yang
sering kita lakukan. Ini juga yang membuatmu berbeda dengan perempuan-perempuan
yang pernah aku kencani.
Ini yang paling aku ingat, Fa.
Waktu itu, saat kita sedang berjalan jalan di sebuah mall, kamu menyuruhku
menukar tas yang kita bawa. Kamu membawa tas selempang punyaku dan aku membawa
tas jinjing punyamu. Ah…aku terlihat seperti seorang waria pulang kerja mungkin
kala itu, Fa. Aku berusaha menahan malu sepanjang mall, kamu hanya tertawa
terbahak-bahak. Tapi rasa malu itu seakan sirna ketika melihatmu tertawa lepas.
Pada akhirnya akupun jadi ikut tertawa dan tidak mempedulikan apa yang dilihat
orang-orang sekitar. Selanjutnya aku mengikuti saja permainanmu yang konyol-konyol.
Yang penting bagiku adalah kamu senang Fa.
Tepat di bulan ke 3 kisah cinta
kita berjalan, kamu mengajakku berjalan-jalan menyusuri pesisir Kuta. Lagi-lagi
Kuta, dan lagi-lagi di kala senja, Kurang lebih pukul 6 Waktu Indonesia
Bagian Tengah saat itu. Matahari sudah mulai masuk ke peraduannya. Selama
berjalan menusuri pantai kaki kita disambut ombak-ombak kecil. Aku dan kamu
terus berjalan tanpa berkata satu patah kata pun.
Kamu terus saja berjalan
menunduk, tanpa aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Aku sudah merasa ada
yang berbeda, semenjak satu minggu belakangan itu kamu jadi pendiam.
Tiba-tiba kamu terlihat seperti
sedang mengeluarkan air mata, aku bingung. Tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Akhirnya aku mulai mencoba menghancurkan keheningan diantara kita
“Zefanya, kamu menangis ?”
“ tidak kok” kamu menyeka matamu
dengan tanganmu
“sudahlah kamu katakan saja apa yang
membuatmu menangis”
Kamu terdiam
“Fa ?”
Tangismu makin menjadi, air mata
mulai mengalir membasahi pipimu. Aku merangkulmu. Kamu menangis didalam
rangkulanku. Sungguh, melihat kamu menangis sama rasanya seperti hatiku sedang
diiris-iris pisau belati, Fa.
Akhirnya kamu menghindar dari
rangkulanku, membasuh air matamu, dan menguatkan diri untuk berbicara padaku.
Aku sudah merasa ada yang tidak beres disini
“Bintang ?” kamu akhirnya mulai
bicara
“ya, Fa ?”
Kamu terdiam lagi. menghirup napas
panjang dan menghempaskannya berkali-kali
“Sepertinya kita harus mengakhiri
hubungan ini, kamu tidak perlu lagi mencari atau menghubungiku”
Sentak aku terkejut, tidak percaya
dengan apa yang telah aku dengar. Irama ombak yang menenangkan sudah bukan lagi
yang kuharapkan. Pikiran bodohku berharap bahwa tsunami langsung datang
menghempas kita dan membawa kita ke lautan yang luas. Mengabadikan hubungan
kita di alam lain.
“mengapa Fa ? apakah aku melakukan
kesalahan” aku bertanya, pertanyaan yang dibalut dengan emosi yang mendalam
“tidak tidak. Ya cuma kita harus
melakukannya, setidaknya untuk sementara”
“sementara ? sampai berapa lama ?”
“aku tidak tahu”
“sebenarnya ada apa Fa ? katakan
saja”
Kamu memejamkan mata. Aku melihat
kamu seperti sedang mencoba mencari kata-kata yang tepat di udara
“selama ini aku menganggapmu
seperti mantan tunanganku dulu. wajahmu sedikit banyak kemiripan, bahkan bukan
hanya itu, caramu berbicara, intonasi bahkan sifatmu yang sering mengecap lidah
sebelum bicara, itu semua yang membuat kamu mirip sekali dengannya. Aku mencoba
membuatmu melakukan tindakan-tindakan konyol yang dulu pernah aku lakukan
bersamanya”
Kamu memberi jeda sejenak lalu
menarik napas panjang “Aku tidak tahu apakah aku mencintaimu atau aku masih
belum bisa melupakan mantan tunanganku. perasaan ini sungguh membingungkan,
Bi. jadi sebaiknya kita berpisah dulu”
Setelah mengucap itu kamu menunduk,
tidak lagi menatap mataku. kamu mendekatkan bibirmu yang sudah dibasahi air
mata dan mencium pipiku. Kemudian kamu berbisik pelan
“maafkan aku Bintang”
kamu berlari menjauh, dan mengisyaratkan untuk tak mau aku mengejarmu
Itulah terakhir kali aku melihatmu,
Fa.
Sudah 2 tahun kita tidak bertemu
tapi hebatnya aku masih mengingat semua hal itu ya. Aku tidak tau apakah kamu
masih mengingatnya atau tidak
Surat ini aku tulis di pantai
Lovina. Tepat 1 hari setelah kamu mengirimkan paket ke alamat apartemenku di
Ubud. Pekerjaan membuat aku singgah disini untuk sementara
Aku memang sedikit kaget saat membuka
paket yang kamu kirimkan. paket yang berisi sepucuk surat dan sebuah undangan
pernikahan. tapi aku menyadari ini yang terbaik buat kamu, buat kita.
Akhirnya kamu sekarang sudah
menemukan kebahagianmu di Bandung, seseorang yang bisa kamu cintai dan
mencintaimu. Selamat ya atas pernikahanmu yang akan kamu langsungkan 2 minggu lagi.
maaf aku tidak bisa datang, bukan karena aku marah, cemburu atau semacamnya,
pekerjaanku di Ubud tidak bisa ditinggalkan. Kamu tahu sendiri bosku yang galak
dan terkadang mengeluarkan api ketika berjalan. Dulu dia juga yang sering
merusak kencan kita. Jadi sekali lagi aku minta maaf tidak bisa datang ke acara
pernikahanmu. Disini aku tetap mencintaimu, sebagai sahabat.
Oh iya, di sepucuk surat itu kamu
mengucap kata “maaf” mungkin lebih dari 20 kali ya ? hahaha. Ayolah, kamu tidak
perlu merasa bersalah. Ini bukan salahmu, Tuhan yang telah merencanakan
semuanya. Ini adalah takdir yang sudah digoreskan oleh Tuhan, aku harus
melewatimu dulu dan kamu pun sama, untuk mendapat seseorang yang lebih baik di
akhir garisnya.
Dulu
aku menganggap kalau cinta tak harus memiliki adalah omong kosong belaka. Tapi
kini ketika aku berada pada posisi itu, aku menyadari bahwa cinta yang
sesungguhnya adalah cinta yang bisa melihat cintanya bahagia. Bersama atau
tanpa dia.
Zefanya, berjanjilah padaku kamu
harus terus bahagia bersama seseorang yang sudah menjadi pilihanmu. janji ?
Terimakasih telah mengisi
hari-hariku selama ini
Seorang
yang kini mencintai senja
Bintang
3 Komentar
damn! :') terharu aku bacanya *standing applause*
BalasTerimakasih :)
Balas:')
Balas