Menunggu Keadilan Pulang - Hidup di Negeri Palsu

Source: Twitter @IrenaBuzarewicz
Menunggu Keadilan Pulang
 
Aku hidup di antara orang-orang yang lebih suka
menghitung angka-angka dibanding membaca kata-kata.
Satu-satunya yang dirapal dan dia hapal
adalah nama-nama pahlawan pada kertas berangka
yang diagung-agungkan seperti Tuhan.

ia tahu Tuhan selalu mengikuti dan melihat
apa yang dilakukan oleh manusia dan
menilai perbuatan itu baik atau buruk.
"Tugas wasit sepak bola pun demikian,"
sangkalnya secara sadar tanpa sedikit pun gentar.

Dia, dia, dia, dan dia kian menjelma kucing liar.
Diberikan ikan asin tak berhenti mengunyah,
tak ada ikan asin berarti harus mencari atau mencuri.
Dan aku bertanya-tanya; dia itu kucing yang senantiasa
lapar, apa kucing yang tak mengenal kenyang?

Ia menghitung satu sampai sejuta,
tapi angka-angka masih banyak dan selalu kurang.
Ia jua tak minta diberikan sepuluh pemuda,
terlalu banyak makan serta menghabiskan uang.

Beberapa kali aku melihat kutipan Rene Descartes
lalu membacanya dengan lantang.
"Aku berpikir, maka aku ada!"
Tapi bantahan mereka selalu lebih unggul meski
sorak-semarai hanya terjadi dalam kalbu.
"Aku korupsi, maka aku ada!"

Penderitaanku--kita, menjadi hidangan pencuci mulut
yang dia makan sambil tertawa bersama rekan-rekan.
Suara kita semata-mata dentingan sendok pengaduk
kopi yang mengusir sunyi. Mengganggu percakapan!
Sedang, dia menikmati waktunya yang sebenarnya tidak
lebih panjang dari tinggi badanku.

Pada kematiannya yang dingin, orang-orang akan
berduka cita dan bersuka cita sambil terbahak-bahak
kala tiba hari di mana ia akan diadili tanpa remisi.

2015




Hidup di Negeri Palsu

 
makanan di negeri palsu serba palsu
beras palsu, bakso palsu, ikan palsu
gorengan palsu, daging sapi palsu
semua terasa halal selama tak melumpuhkan kantung celana
dan langsung menenggelamkan tubuh menjadi rongsok
yang siap jadi santapan rakusnya burung pemakan bangkai.


tak perlu pendidikan tinggi-tinggi dan melawat
jauh sampai ke negeri cina yang barangkali
garis hitam kumbang menggarit cakar ayam
di atas lembar kosong berwarna awan
sudah bisa mewujudkan mimpi masa kanak-kanak
bernaung di gedung besar berbalut asap kendaraan
pinggir ibukota yang berdiri angkuh.

para petinggi di negeri palsu yang kerap kali
melontar ujaran dengkul nan elok serta terbuat
dari tak setianya semburat senja
yang dikulum lembayungnya lama-lama
sampai membuat langit-langit mulut dan lidahnya
menampakkan keindahan yang alangkah raya.

dan rakyat yang tubuhnya kian jadi mayat
seolah terpana melihat keindahan dan
kelihaiannya bermain sulap dan saling salip
dalam upaya mengabur segala rahasia dan
mengubur banyak orang yang mulai sia-sia.

satu-satunya yang asli dari negeri palsu
adalah kepalsuan itu sendiri.
dengan mata lipas tertutup tiras, rakyat
negeri palsu berjuang melacak yang tak palsu
bahkan untuk asih dari seorang kekasih
yang dirisaukan juga semu.

2015


------------------------------------------
Pernah tersiar di Pikiran Rakyat edisi 3 April 2016

Karya Saya Tersiar di Surat Kabar!

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!

Lu ngapa si Jem?

Sabar teman-temanku yang soleh dan sholehah, gue belom gila kok. Gue cuma terlewat bahagia aja ngeliat nama gue sendiri ada di koran. Yak, nama gue ada di koran! Tenang aja, nama gue ada di koran bukan karna gue ketauan nyimpen ganja atau memperkosa seekor tapir di bawah umur. Nama gue terpampang di sana berkat 2 puisi gue yang lolos seleksi surat kabar Pikiran Rakyat.

Pikiran rakyat mungkin persebarannya nggak seluas Kompas, Sindo, dan Tempo yang tersebar di seluruh Indonesia. Koran ini adalah koran yang mencakup daerah Jawa Barat aja. Tapi tetep aja gue seneng banget kalo karya gue dibaca oleh ratus ribuan orang di Jawa Barat.

Mari itung-itungan sedikit ya buat mengetahui kira-kira orang yang membaca karya gue. Setelah gue googling, jumlah penduduk Jawa Barat 46, 3 juta. Tiap harinya Pikiran Rakyat mencetak lebih dari 185 eksemplar. Anggaplah warga yang membeli koran Pikiran Rakyat satu per seratusnya. Maka 46, 3x1/10=x>185 ribu. Lo tau nggak apa pentingnya itung-itungan tersebut? kalo gue si kaga.. Jadi mending gue skip aja kali ya.

Sip.

Jadi, awal gue tau kalo puisi gue ada di Pikiran Rakyat yakni pas senin 20 Juni kemaren. Jadi sepulang kuliah di senin sore, gue lagi nggak ada kegiatan apa-apa (atau dalam bahasa Ekuador dibilangnya "Gabut"). Gue lagi gabut kala itu, mau nonton film, tapi lagi males. Mau ngerjain tugas, apalagi.

Kalo lagi gabut gue biasa melakukan hal yang nggak penting semisal ngomong di depan kipas, atau bermain gitar tapi digebuk. Dan salah satu hal nggak penting yang gue lakuin saat itu adalah mencari nama sendiri di Google.

Nggak ada yang gue ekspektasikan atas pencarian nama sendiri di google kala itu. Siapa juga yang mau membicarakan gue. Gue sadar gue hanya orang biasa. Gue bukan anak presiden, bukan pula seorang artis. Kalau kata pepatah kuno-nya mah "DA AKU MAH APA ATUH."

Walaupun da aku mah apa atuh, gue tetep mengetikkan nama gue di mesin pencari google. Siapa tau aja ada berita gue lagi digosipin deket sama Pevita Pearce. Sapa tau aja ya kan~

Namun ternyata nggak ada gosip itu. Yang muncul pertama-tama adalah akun G+ gue. Kemudian gue scroll ke bawah lagi, gue melihat judul puisi yang tidak asing di ingatan. Puisi itu terpampang di id.Klipingsastra.com, yang mana situs ini berisi puisi-puisi maupun cerpen yang pernah tersiar di surat kabar.

Dag-dig-dug-der jantung gue berdetak tidak karuan. Gue bukalah tautan itu. Saat gue baca puisinya ternyata bener adanya bahwa puisi itu adalah puisi yang pernah gue buat.

Otomatis gue seneng banget lah. Asal kalian tau, gue udah mengidam-idamkan karya gue terpampang di media massa sejak tahun 2014. Di tahun 2014-2015 gue sedang giat-giatnya menulis lalu mengirimkan tulisan berupa puisi atau cerpen ke beberapa surat kabar atau majalah. Dari mungkin puluhan karya yang gue kirimkan itu nggak ada satu pun yang dimuat. Dan di situ kadang saya merasa cedih.

Selain ngirim-ngirimin karya ke media massa. Gue juga waktu itu sering ikut lomba puisi. Dan lagi-lagi, gue nggak pernah menang.

[Cry in Filiphines]

Paling puisi gue cuma jadi puisi terpilih aja. Tiga di antaranya pernah dijadikan buku antologi puisi di dua buku berbeda. Tapi tetep aja gue nggak puas kalo bukan keluar sebagai pemenang.

Pada 2016, barulah penantian lama gue terbayarkan. Puisi gue akhirnya terpampang juga di surat kabar. Setelah gue cek pesan keluar email. ternyata gue mengirimkan puisi itu tanggal 25 Juni 2015, dan baru tersiar di Pikiran Rakyat tanggal 3 April 2016. Hampir setaun broh! jangan tanyakan lagi deh seberapa mahirnya gue dalam hal menunggu ketidakpastian.

Engga nungguin juga sih sebetulnya. 3 bulan pertama gue masih sering buka web kliping sastra buat ngeliat apa karya gue lolos seleksi atau engga. Sampai akhirnya lama kelamaan gue nggak pernah meriksa lagi, dan menganggap ini hanya kegagalan gue yang lain.

Yang gue sayangkan dari redaksi Pikiran Rakyat, dia nggak ngabarin kalo karya gue akan disiarkan. Alhasil gue jadi nggak bisa ngeliat karya gue di koran secara fisik. Perihal honorarium juga engga dikabarin. Namun setelah gue telepon ke kantornya dan ngecek rekening, ternyata honor sudah dikirimkan.

Namun uang tidaklah penting. Yang penting bagi gue adalah gue bisa berkarya, lalu karya gue bisa dibaca oleh banyak orang, sebab di situlah salah satu sumber kebahagiaan gue berasal. #Anjhay

Eh engga deh bercanda, uang juga penting. Lumayan demi sesuap pizza he he he...

Barangkali ada yang baca tulisan ini dan lo punya teman, sodara atau siapa saja ada yang berlangganan koran Pikiran Rakyat, dengan sepenuh hati gue memohon hibahkanlah pada gue koran yang terbit tanggal 3 April 2016. Hal ini berarti banget buat kelangsungan hidup gue.

Kalau ada yang mau baca puisi gue bisa di web KlipingSastra dan di e-paper koran Pikiran Rakyat. Atau di Blog gue bakalan di-post juga setelah tulisan ini.

Kesesatan yang Lestari dalam Berbahasa Indonesia


Dilahirkan di negera Indonesia, bukan jaminan punya kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak orang-orang Indonesia berlomba-lomba mempelajari bahasa asing, tapi mengabaikan bahasanya sendiri.

Disadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja, pada prakteknya sehari-hari, masih banyak penggunaan bahasa Indonesia yang salah. Namun karena salah itu dilakukan terus menerus, jadi dalam pikiran kita hal itu udah tertanam menjadi sebuah kebenaran. Sama juga seperti kamu, kalau kamu benci aku secara terus-menerus, lama-lama mungkin benci itu bisa berubah jadi cinta.

APAAN~

Beberapa orang mungkin tau kesalahannya dalam berbahasa, tapi tidak memberitahu orang yang nggak tau. Beberapa mungkin nggak tau, tapi nggak mau cari tau. Beberapa mungkin mau cari tau, tapi nggak tau mau cari di mana. Kalo lo nggak tau harus cari di mana, lo sudah berada di tempat yang tepat.

Daripada lo semakin mual dengan pembukaan gue, langsung aja gue beritahu kesalahan-kesalahan umum yang sering gue temukan dalam penggunaan bahasa Indonesia.

1. Penulisan ke- dan di-

Penulisan "ke-" dan "di-" itu sebenarnya gampang-gampang mudah. Saking mudahnya, banyak orang yang nggak peduli dengan pengunaan ke- dan di-. Kadang gue jadi gatel-gatel sendiri kalo masih ada orang yang salah menggunakan ini.

Penulisan ke- dan di-, ada yang ditulis serangkai dengan kata dasar (imbuhan), ada pula yang terpisah dari kata yang mengikuti (awalan). Kalau mau tau "di-" atau "ke-" dipisah atau enggak, gampanya sih, kalau di- dan ke- yang merujuk pada suatu tempat atau waktu, berarti dia dipisah. Kalau yang sebagai kata kerja berarti disambung.

Kesalahan "di-" sebagai kata depan yang sering gue temui yakni dimana, diantara, disana, disisi. Itu semua salah. Karena sebagai penunjuk tempat seharusnya semua itu dipisah, jadi yang bener "di mana", "di antara", "di sini", "di sisi".

Contoh penulisan di- sebagai imbuhan dicintai, dicaci, disantet, digebukin, dsb.

Penulisan "ke-" juga lebih kurang sama, kalau ke yang menunjuk ke tempat/tujuan berarti ia dipisah. Misalnya yang bener itu “ke sana” bukan kesana, “ke mana” bukan kemana, dan lainnya.

Sedangkan ke- sebagai imbuhan contohnya kejedot, ketikung, keserempet, dsb.

Coba perhatikan spanduk ini.
Dari twitter @shamposachet
Bisa temukan kesalahan di spanduk tersebut?
Disekitar, seharusnya "di sekitar"
Disaat, seharusnya "di saat"
Silahkan, seharusnya "silakan"
Kedalam, seharusnya "ke dalam"

2. Pengejaan yang Salah

Kesalahan dalam pengejaan bukan sering dialami ketika kita menggunakan bahasa inggris aja, dalam bahasa Indonesia juga sering terjadi cuma mungkin orang-orang pada nggak sadar aja. Banyak orang juga menganggap salah eja itu bukan masalah berarti.

“Ah salah eja doang, lagian orang yang dengar atau baca juga bakalan ngerti apa yang gue maksud.”

Mungkin argumen itu benar. Kesalahan ini pun masih bisa dimaafkan kalo cuma buat nge-chat temen, nulis di blog atau di percakapan sehari-hari. Tapi kalo lo nulis karya ilmiah, media massa, atau barangkali suatu saat nanti lo jadi penulis pidato presiden, kesalahan kecil ini tidak bisa dimaklumi.

Seenggaknya lo sebagai warga negara Indonesia yang baik, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan bangsa, lo harus tau ejaan kata yang ejaan yang disempurnakan.

Berikut adalah daftar kata yang sering dieja salah. Yang di sisi kiri adalah kata yang bakunya.

“Napas”, bukan "nafas"
“Paham”, bukan “faham”
“Kecoak”, bukan “kecoa”
“Apotek”, bukan “apotik”
“Antre”, bukan “antri”
“Aktivitas”, bukan “aktifitas”
“Respons”, bukan “respon”
“Praktik”, bukan “praktek”
“Tolok ukur”, bukan “tolak ukur”
“Takhta”, bukan “tahta”
“Cendera mata”, bukan “cindera mata”

3. Penggunaan Tanda Baca

“Ayo makan anak-anak!”
“Ayo makan, anak-anak!”

Lihatlah bagaimana tanda koma bisa menyelamatkan nyawa banyak anak-anak tidak berdosa. Jadi penggunaan tanda baca itu vital banget dalam sebuah kalimat. Kalau tanda baca yang digunakan ngaco, bisa jadi pesan yang disampaikan penulis jadi rancu.

Kalo ini dari SD juga udah diajarin. Yang sering gue temui sebenarnya bukan kesalahan penggunaan tanda baca, akan tetapi cara peletakkan tanda baca.

Contoh:
A: Raisa, nyimeng yuk ?
B: Ayuk !

Apa yang salah?
Yak, peletakkan tanda tanya dan tanda seru yang didahului oleh spasi. Tanda baca dengan huruf terakhirnya seharusnya tidak diberikan jarak. Kenapa? Nanti takut kangen :’( hiks.

Masih banyak orang terjebak kesalahan ini. Gue perhatikan, bahkan banyak status-status media sosial temen gue yang nyatanya adalah seorang mahasiswa masih begitu.

Gue pun nggak luput dari dosa. Kalau lo liat postingan-postingan awal gue, gue juga nulis tanda bacanya begitu. Gue sengaja nggak membetulkan kesalahan itu, biar kalo gue baca-baca lagi, gue jadi inget bahwa gue juga pernah salah, dan itu menjadi motivasi gue untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Idih~

Tanda baca yang mau gue bahas selanjutnya yakni tanda hubung (-). Sebetulnya jarang gue menemukan banyak kesalahan di tanda ini. Niatan awal gue mau menjelaskan ini, berangkat setelah gue membuka blog temen gue, lalu hampir di setiap postingannya dia menggunakan tanda hubung semena-mena, yang mana hal ini membuat mata gue jadi mules ketika membacanya. Mari ditengok.



Lihat? Mules nggak lu bacanya? Mereka-mereka itu ditakdirkan hidup bersama. Orang jahat macam apa yang tega memisahkan huruf-huruf tak bersalah itu.

Tanda hubung digunakan pada situasi-situasi berikut ini:
  • Pemisah pada penggantungan baris
          Di malam yang dingin itu, Tarjo tak kuasa me-
          nahan cintanya pada Raisa lebih lama lagi.
  • Menyambung kata ulang
          Undur-undur, melihat-lihat, kehijau-hijauan
  • Pengejaan satu-satu dan bagian-bagian tanggal
          C-i-n-t-a
          27-03-1995
  • Se + huruf kapital | ke + angka | angka + -an
          Se-Depok, se-Timbuktu
          Ke-2
          Angkatan 90-an
  • Singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata
          Mem-PHK-kan, sinar-X
  • Nama jabatan rangkap
          Menteri-Sekretaris Negara
  • Merangkai unsur bahasa Indonesia dengan bahasa asing
          Di-tackle, di-service, di-smack

Setelah mengetahui fungsi-fungsi tanda hubung, apa tulisan temen gue tadi ada yang masuk kategori penggunaan tanda hubung? Tidak ada.

Coba lihat di contoh gambar tadi, ada yang gue lingkari dengan warna ijo. Itu juga kesalahan. Itu mungkin maksud si penulis adalah tanda pisah (−), yang mana seharusnya lebih panjang dari tanda hubung, tidak didahului dan diikuti spasi, huruf setelahnya bukan huruf kapital (kecuali memang kata yang wajib dikapitalkan). Kegunaannya pun berbeda dengan tanda hubung. Yang pengin tau, silakan cari di internet aja ya. Kepanjangan kalau saya jelaskan Pak, Bu.

4. Penggunaan Kata yang Salah Kaprah

Mulyono: “Kamu tau nggak? Selama ini, aku itu mengacuhkanmu!”
Ningsih: “Kamu jahat, Mulyono. Aku nggak mau ketemu kamu lagi!”
Mulyono: “Lho kok…”

Apa yang salah dengan perkataan Mulyono kepada Ningsih? Padahal Mulyono merasa sudah menyampaikan perasaannya dengan tepat, tapi mengapa Ningsih malah nggak mau ketemu Mulyono lagi?

Yang menjadi asal-muasal permasalahan mereka adalah penggunaan kata “acuh”. Yang berkembang di masyarakat, kata “mengacuhkan” disamakan dengan kata” mengabaikan”. Padahal artinya itu sebaliknya. Menurut KBBI, arti kata acuh sejatinya adalah peduli; mengindahkan.

Contoh lainnya mudah ditemukan di lagu Indonesia, salah satunya ada di lagu Once.

Kau boleh acuhkan diriku
Dan anggap ku tak ada
Tapi takkan merubah
Perasaanku…
Kepadamu…~

Di lagu itu ada 2 kesalahan. Pertama kata acuh yang disononimkan dengan abai, seperti yang gue bilang sebelumnya. Acuh itu artinya peduli. Peduli! Inget ya.

Kesalahan kedua yaitu kata “merubah”. Kata “ubah” yang diberikan imbuhan me- seharusnya jadi mengubah, bukan merubah. Merubah mah binatang.

Itu baru di satu lagu, belum lagi masih banyak lagu-lagu Indonesia yang melakukan kesalahan itu. Padahal kan lagu itu kan mempunyai kekuatan yang luar biasa di ingatan manusia. Lagu yang kita denger 10 tahun yang lalu pun, masih bisa kita inget dengan jelas. Kalau lirik lagunya menyampaikan kesalahan, tentu kesalahan itu juga bakal tersimpan di otak kita bertahun-tahun.

Kata yang salah kaprah selanjutnya adalah Anarkis. Di berita-berita, kalau ada tindakan perusakan, biasa menyebut dengan kata anarkis. Misal “Sopir taksi konvensional melakukan tindakan anarkis dalam demo besar-besarannya di Jakarta.”

Kalau dibaca sepintas, keliatannya sih bener. Namun coba kita jabarkan arti anarkis sesungguhnya menurut KBBI.
Anarki n 1 hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban; 2 kekacauan (dl suatu negara)

Anarkis n 1 penganjur (penganut) paham anarkisme; 2 orang yg melakukan tindakan anarki

Anarkistis a bersifat anarki
Sudah ada gambaran jawaban yang tepat?

Di contoh kalimat yang tadi “Sopir taksi konvensional melakukan tindakan anarkis dalam demo besar-besarannya di Jakarta”. Tindakan anarkis di situ kan maksudnya tindakan (yang bersifat) anarki, sedangkan anarkis arti sebenarnya adalah orang yang melakukan tindakan anarki (pelakunya), jadi yang benar seharusnya tindakan anarkistis.

Hal ini sama kasusnya dengan kata “optimis”. Mari kita lihat contoh salah yang kerap diucapkan orang-orang.

“Lo harus optimis, Mul. Lo pasti bisa mendapatkan hati Ningsih lagi.”

Sekarang mari kita jabarkan arti dari kata optimis
Optimis n orang yg selalu berpengharapan (berpandangan) baik dl menghadapi segala hal

Optimistis a bersifat optimis; penuh harapan (tt sikap)
Yang benar mestinya "Lo harus optimistis, Mul." Jadi, seorang optimis itu pasti memiliki sifat optimistis. Karena Mulyono optimistis, maka dia bisa dipanggil optimis.

Salah kaprah lainnya adalah kata Seronok. Mari lihat gambar berikut ini.

diambil dari liputan6.com
Dari gambar tersebut, apa kesimpulan yang lo ambil dari arti kata seronok?
Tidak sopan, mengumbar-umbar aurat, pokoknya negatif deh ya. 
Ini termasuk kata yang mengalami pergeseran makna. Arti sesungguhnya dari seronok yaitu menyenangkan hati; sedap dilihat (didengar dsb). Jadi kalo lo pergi ke pesta atau acara lainnya, pasti lo memakai pakaian yang seronok. Kalo ada orang yang nyuruh lo nggak pake pakaian yang seronok, berarti dia nyuruh lu pake pakaian layaknya seorang gepeng.

Itulah beberapa kesesatan yang dilestarikan di masyarakat. Di sini gue nggak bermaksud untuk menggurui. Dekat dengan dunia penulisan dan terjun di jurusan sastra membuat kemampuan ilmu berbahasa Indonesia gue semakin meningkat. Gue juga bukan ahli bahasa, cuma pencinta bahasa aja. Barangkali ada tulisan gue yang khilaf tolong dibenarkan, atau kalau ada yang mau menambahkan sangat diperbolehkan.

Jadi apa lo termasuk salah satu orang yang melakukan kesalahan-kesalahan di atas? Setelah lo tau kesalahan-kesalahan itu, masih mau mengulangi kesalahan yang sama?
Berat banget nggak sih buat memperbaiki kesalahan kita berbahasa?
Enggak lah ya… berat ajah.
Berat banget mah…. ngajarin Limbad baca puisi.

Waanjirr~

Semoga tulisan saya ini bisa membantu. Saya doakan orang-orang yang masih tersesat hidupnya dalam berbahasa Indonesia diberikan pencerahan, jalannya diluruskan, dan dosa-dosanya bisa diampuni oleh Yang Maha Kuasa.

Empat Waktu


Image: @IrenaBuzarewich
aku ingin merupa tuhan. tapi aku tidak bisa menyediakan waktu kepada semua orang seperti-nya. 
aku hanya bisa memberikan waktu buatmu, dan kau bebas menentukan kapan waktu yang 
kau mau untuk bersamaku.

1.
pagi hari setelah subuh
sebermula kabut membangunkanmu dari tidur lelap. memberikan baju hangat dan beberapa pujian
pembuka mata. kita bisa menjelma embun dengan daun yang tengah menengadah pasrah. ketika
fajar menyingsing, kita duduk berhadapan sambil menyantap roti isi, secangkir kopi, serta
sajak-sajak pagi. kita terlalu sibuk memainkan sajak hingga kopi panas sudah menjadi dingin.
bagaimanapun itu, aku tetap suka. di waktu ini sejumlah pelukan bisa terjadi.

namun ketika hari mulai panas, tidak mungkin lagi untuk kita melanjutkan peluk.

2.
tepat matahari atas kepala
satu-satunya tempat yang nyaman adalah di bawah pohon rindang. menghitung daun-daun hijau yang
jatuh ke atas kepala, sementara kamu bercerita tentang menariknya beberapa kata di kota kita.
walau hari bersama panjang, tapi kita tak bisa ke mana-mana. kau tahu sendiri kan kalau di luar itu
panas sekali?

kita tidak bisa berjalan-jalan karena di sini taman adalah sesuatu yang jarang tapi tidak seorang pun
merasa gamang. Kalau kau memilih waktu ini untuk berjalan denganku, baiklah aku akan sedikit
berjarak. Aku takkan berani menggenggam barang tanganmu, sebab cuaca begitu panas. aku tahu
kalau kau tidak mau peluh kita bercampur menjadi bau keringat yang apak.

3.
jam 4 petang
para penyair lebih suka menyebutnya dengan kata senja. kita sendiri pasti berdebat tentang apa
warna senja yang paling tepat, kau sebut lembayung, aku memanggil mambang kuning, sedang yang
lainnya menyebut merah jingga, layung, atau oranye. inilah waktu paling indah dibanding sepanjang
hari yang kita sudah atau bahkan belum kita lewati.

kita bisa duduk berdua tanpa suara-suara aneh yang akan kita dengar. kau mungkin mengeluarkan
riak yang amat sangat kecil di pelupuk mata yang tak berujung. sungguh hanya dengan memandangi
mentari yang masuk peraduan akan mendatangkan kebahagian yang tak terkira.

tapi tunggu dulu. sebelum kau memilih waktu ini, kamu tahu kan sudah berapa lama kau
menunggu sedari tadi? setelah itu ia datang dan berlalu begitu saja tanpa terasa. terlalu fana.

4.
kegelapan sepanjang malam
hari sudah gelap, angin malam mulai menghempas kulit sehingga kita harus kembali memakai baju
hangat. dan kita harus lebih dekat untuk memudahkan diri melihat sepasang bola mata yang terbuat
dari kilau bulan purnama hari pertama. jaket yang merengkuh tubuh mungkin tak mampu
menjinakkan malam yang gemetar. sampai-sampai tulang belakangmu merasa menggigil meminta
nyala api unggun sebagai pengganti. 

waktu masih sangat panjang. nyala api tak akan mampu mendekap malam terlalu lama. namun peluk
yang melingkar di pinggang mampu melakukan lebih lama dari siaran radio yang didengar sepanjang
hari demi lagu kesukaan. 

bayang-bayang yang tak mampu menyamarkan warna sudah berbaur menjadi lebih buntal. di waktu
ini mungkin kita bisa tetap. kita terus bersama sepanjang malam dan ketika pagi menjelang, jika saja
kau masih mau, kita masih bisa menutup tirai dari jendela yang retak dan menghalangi cahaya pagi
masuk ke dalam kamar. kita mencipta malam milik kita sepanjang hari, lalu di kegelapan, kita terus
berdekapan. dan mungkin akan terciptakan pula liarnya beberapa kecupan.
  

Perihal Jatuh Cinta dan Mencintai

Image: @Irenabuzarewich
“Mereka tidak tahu, jatuh cinta dan mencintai
adalah dua penderitaan yang berbeda” 
–Aan Mansyur

Sebelum benih kecambah yang kautanam di dadaku mulai
tumbuh, aku masih berdamai dengan sepi.

Pada mulanya aku hanya memandangmu sebagai daun di
lebat pohon beringin. Hingga akhirnya sehelai daun jatuh
tepat di atas kepalaku.

Kau—atau siapa pun—tidak akan memahami kalau isi
dadaku debar jantung yang berdebur tak terhitung, api cinta
yang baru dinyalakan bara, jelir harum mawar yang silir-
semilir mulai terhisap.

Aku sadar, perasaan ini bermula saat kaubantu aku
membakar sampah kenang paling pahit. Aku tidak tahu,
entah kau melakukannya dengan maksud khusus atau
kaulakukan itu pada semua temanmu.

Kutinggalkan pertanyaan ini sebagai misteri tak terpecahkan.
Lantaran, terkadang kita lebih suka hidup dalam indah
misteri, daripada nyeri kejujuran.

Kini yang aku percaya, matamu telah menjadi sumber
damba tenangku. Hadirmu bukan lagi sekadar rimbun
daun di pepohonan.

Dan jatuh cinta, sekali lagi menjadi alasanku menikmati 
rasa sakit yang membahagiakan.
*
Mungkin aku bukanlah orang yang akan kau jadikan tempat
menitipkan potongan-potongan hatimu. Tapi sebelum kau
jatuh di pelukan lelaki lain, biarkan aku mencintaimu
sedalam-dalamnya, sediam-diamnya.

Sebab aku mencintaimu seperti kelingking kaki yang jatuh
cinta pada tungkai-tungkai meja atau batang pintu. 

Ya, mencintaimu itu sakit. Tapi untukmu, 
aku rela bersahabat luka-duka.


9 Juni 2016

Puisi yang Rumah

Image: @IrenaBuzarewich
Aku sembunyi di balik kamar yang tak sedemikian besar dari
kejamnya hari lalu dan sepi yang bisa menerkam kapan saja. Aku
masuk dalam kata membiarkan diriku berlarian seperti bermain
delikan. Sementara kata-kata enggan menutup mata namun tidak
mengucap apa-apa.

Kubiarkan kasur memeluk erat tubuhku yang berbilur. Cambuk
masa lampau, segenap imajinasi pinar berkilau. Kurentangkan
seprai tertumpah asin, bekas rasa sakit yang tidak sanggup
disembuhkan magainin. Gores terhadap garis kesedihan yang tidak
kesudahan.

Cat tembok sewarna biru. Menyimpan haru—barangkali sengaja
agar aku selalu mengingat limpahan masa lalu. Sebelum denyaran
masuk lewat jendela, hari depan telah terlanjur tiba sebagai
kekasih yang memendam cemburu.

Lantai rumah kedinginan. Meminta secangkir kopi yang
mengundang pulang perjalanan atau gedebak-gedebuk kaki yang
mengandung rasa penasaran. Ia harus menanti fajar. Menuntun
gelap malam seperti kunang-kunang. Menjaga pancar bulan,
wejangan, dan angan-angan.

Jadilah kutulis semua obituari pulang dan pergi. Riwayat dari ia
lahir sampai kembali ke pintu rumah bergerigi. Meski membuka
pintu artinya dapat membuat mimpi-mimpi menggugurkan diri.
tapi rumah tidak akan melenyapkan. Rumah, kata ibuku, bukanlah
pondasi megah berdiri pongah. Hanya mata, pada pelupuk yang
selalu menyimpan rindu saat kita pergi.



2015