Epitaf Kata Kita di Suatu Kota

Epitaf Kata Kita di Suatu Kota

Kulihat kesedihan dari pekat kopi yang terseduh pagi ini.
Hitam, yang dalam pahitnya terselip sendu yang tenggelam.

Matahari masih menggantung di langit yang sama,
tapi hangatnya tak akan pernah sama lagi sampainya
di kulit kita.

Tidak ada lagi kita sedianya. Kata kita sudah beranjak
dari kau dan aku. Kalender memulas kita dengan warna
selain hitam dan merah di luar tubuhnya. Tidak akan ada
lagi kita hari ini, besok, tulat, tubin atau kapan pun.
Masa depan kita hanya akan ditemukan di masa silam.

Kenangan, satu-satunya tempat kita menyimpan angan.
Sekali waktu kau pernah berkata:
Aku mencintaimu sesederhana anak kecil
yang mengidam-idamkan sebuah balon.
Ketika seseorang merebut balon itu dariku,
apiku akan membakar belantara hutan.
Saat balon itu lepas dari genggaman,
aku akan menangis hingga menenggelamkan
suatu kota.


Aku membalas bahwa aku mau jadi balon itu.
Aku; jasad yang takut malam yang dingin,
hanya mau menjadi apa yang kau ingin.

Akan tetapi, semua kata-kata dari harilalu
kerap bakal jadi pengungsi pula di haridepan.
Setengah kata bertahan hidup, sebelah janji perlahan redup.
Karena bagi mereka—termasuk kita
yang ingar-bingar oleh dentum kuntum cinta,
kata-kata hanyalah janji yang akan ingkar diri.
Dan janji menjelma kita yang menolak untuk ditepati.

Langkah yang sempat kita tabung untuk haridepan
adalah makna yang hilang arah. Di wajah takdir,
kita sepasang semoga yang sudah pasrah.

Kini kau dan aku akan mengakhiri kata kita.
Kita; dua pengungsi masadepan
yang tidak bertahan hidup.


Puisi Descendent of the Sun part 2



Melupa atau Meluka?
-kepada Yo Shi-Jin

Kita sedang berupaya saling melupakan
atau kita hanya melukakan diri kita masing-masing?

Terakhir kita berjumpa adalah di sebuah kafe. Tak banyak orang
di sana, kita duduk di dekat kaca dan di dekat rasa nyeri yang
mengumpat di dada. Tak kau tampakkan menariknya sungging
senyummu dan lelucon aneh yang selalu kunantikan itu.

Setiap kau mulai pergi, diriku selalu diterpa badai tanda tanya.
: Ke mana pria yang menarik perhatianku itu menghilang?
Apa yang dia lakukan?

Tapi saat kita bertemu, kau tak mengatakan apa pun
padaku. Itu dilarang, kan?

Senang mengenalmu,” ucapmu pada akhirnya,
selamat tinggal.

Tikaman tepat di sanubari sesaat kata terakhirmu itu
terlontar sebelum aku beranjak dari tempat duduk. Entahlah,
bukankah kepergian ini aku yang menginginkan? Mengapa
aku pula yang harus merasakan sakit paling mendalam?

Aku pergi, tanpa meninggalkan setetes airmata. Meski tanpa
rinai di pelupuk, jangan berpikir kalau aku akan baik-baik saja.
kesedihan paling mendalam justru ada ketika seseorang harus
pura-pura menahan tumpah airmata demi menunjukkan
siapa di antara siapa yang tampak lebih kuat menyambut kepergian.

Kalau kukatakan ini langsung padamu, apa kau setuju denganku?
Apa kau merasakannya juga?
   
Kepalaku telah kubelikan penghapus untuk membersihkan
segala hal yang menyangkut namamu. Namun kurasa 
seluruhmu noda permanen. Semakin aku berusaha melupakan, 
diriku seperti meminum racun yang kubuat sendiri, 
dengan harap kematianmu di kepalaku segera tiba.

Padahal kau tak pernah menitipkanku suatu apa.
Hanya ingatan satu-satunya pemberian yang kau tinggalkan.
Ah, barangkali itulah mengapa ia bernama ingatan.
Ingatan tidak diajarkan untuk melupa.
Bila dipaksa, ia cuma akan memberi duka. 

Untuk bisa melupa, aku belajar membenci.
Aku benci kau. Aku benci senyummu.
Aku benci kau yang kerap meninggalkanku tiba-tiba.
Aku benci kau yang tak pernah memikirkan perasaanku
dan bahkan kerap tak memikirkan perasaanmu sendiri.
Aku benci segala tentang kau.

Aku sungguh benci kau. Tapi sialnya, kebencianku jauh
lebih sedikit dan tidak akan pernah cukup untuk
melampaui rasa inginku bersamamu.

Puisi Descendent of the Sun

Puisi di bawah ini terinspirasi dari drama korea yang saya suka yakni Descendent of the Sun. Drama ini bercerita tentang 2 tokoh yang saling mencinta namun kerap dipisahkan oleh pekerjaan mereka masing-masing. Si pria (Yo Shi-Jin) berprofesi sebagai tentara, dan si wanita (Kang Mo Yeon) adalah seorang dokter. Kebayang kan gimana pertemuan sulit hadir di tengah-tengah mereka.

Karena saya orangnya baperan, dan drama ini bisa menyentuh relung hati saya, saya pun tergerak untuk menginterpretasikannya menjadi puisi. Saya mencoba masuk ke jiwa Yo Shi Jin dan mencoba menuangkan apa yang ia rasakan. Mungkin sejatinya dia lebih sering memakai pistol sebagai senjata, bukan memakai kata-kata, namun bukankah kedua hal itu itu sama-sama berbahaya dan sama-sama harus digunakan dengan hati-hati?
 
*kalimat yang dicetak miring di puisi berikut adalah kalimat yang saya pinjam dari dialog filmnya.




***

Meluka Lupa
-Untuk Kang Mo Yeon

Bagaimana mungkin hujaman peluru di medan perang tidak pernah
menbinasakanku, namun parang matamu bisa membunuhku
berulang-ulang kali dan berkali-kali lebih ulung?

Apa kau sudah minum obatmu?

Alih-alih menyakiti diriku, luka tembak di perut ini merupakan
keberuntungan yang membawaku pada pertemuan denganmu.
sebetulnya, kau tahu, luka di dalam atau luar tubuhku seakan
menyembuhkan dirinya sendiri kala tiba ia bersua matamu.

Aku masih ingat ketika kita hampir menonton film kesukaan kita.
seharusnya itu menjadi salah satu waktu paling bahagia yang
pernah kualami. Memiliki seutuh senyummu, seolah-olah
lekuk itu hanya diciptakan untukku seorang.

Ini adegan yang paling ditunggu di bioskop,” ucapmu kala itu,
tepat sebelum lampunya dimatikan.

Ini saat paling kutunggu dalam hidupku,” balasku, “aku bersama
wanita cantik dan lampunya dimatikan.


Akan tetapi, sebelum film diputar, lagi-lagi aku harus meninggalkanmu.
Aku harus membela negara yang bersikeras dituruti. Pekerjaanku ini
kadang memang menyebalkan sekali. Ia kerap jadi kekasih pencemburu
dan membenci orang-orang yang kucintai. Dan kau adalah orang yang
paling ia benci. Jangan tanyakan mengapa.

Kini kewajiban itu menjaukan diriku lebih jauh dari wanita yang paling
kucintai; kau. Aku mengerti, kau sudah lelah terus menerus ditinggalkan.

Matamu berkaca. Yang mana pecahannya mencacah hatiku bertubi-tubi.
Perpisahan pun sudah menunggu di depan pintu. Siap membawa kita
pergi dari teduhnya renjana yang saat ini kita tempati.

Kurasa inilah waktu untuk kita menghenti upaya melukakan,
barangkali dengan cara mencoba saling melupakan.

Langkah kaki kita harus menjauh pergi,
bahkan sebelum kita benar-benar saling memiliki.




Hujan Maaf Semalaman


Dalam tubuhku selalu ada kali tercemar mengalir
alur airnya pada pipa-pipa pembuluh selain darah.
Yang jatuh berulang kali melupakan asal mereka
serupa air mata dari seorang penyedih paling tulus.

Kali itu; yang dibenci orang namun dicintai api,
mengusik keheningan pikiran dan mengusak kebeningan
mata air dalam jiwa, dengan aroma tidak sedap
yang semakin sampah.

Padahal sukma terlalu murni untuk menyimpan barang
senoktah hitam usam yang menyebut dirinya sebagai kesalahan.

Biarlah hujan maaf turun semalaman membersihkannya.
Menanggalkan untuk meninggalkan tubuh usangku
yang kian gersang.



Depok, 26 Juli 2015



***
Berhubung sekarang masih suasana lebaran, mohon maaf lahir batin ah, maafkan kesalahan saya yang saya lakukan secara online ataupun offline. Maafkan kesalahan saya yang tidak disengaja dan yang tak disengaja ya (saya tidak menyebut "kesalahan saya yang disengaja", sebab sepengetahuan saya, saya tidak pernah melakukan kesalahan dengan sengaja). Maafkan juga jika diblog ini ada kata-kata yang menyinggung perasaan Anda.

Omong-omong, puisi di atas merupakan salah satu dari dua puisi pertama saya yang dijadikan antologi buku puisi edisi lebaran tahun kemarin.

Rilis Buku: Coretan di Mata Waktu


Mari awali tulisan ini dengan mengucap hamdalah

hamdalah…

Alhamdulillah proyek buku yang sudah dikerjakan selama lebih dari 3 tahun akhirnya selesai juga. Proyek yang benar-benar menguras waktu, tenaga, dan pikiran gue.

Eh tapi nggak dikerjain selama 3 tahun juga sih sebenarnya, itu biar keliatan keren aja, biasanya kan semakin lama proses penulisannya semakin keren hasilnya.

Proyek ini adalah karya kolaborasi karena bukan cuma penyanyi yang bisa duet. Bukan cuma Duo Serigala yang bisa unjuk dada gigi. Gue dan Bepe, selaku penulis receh, bisa juga berduet dengan tulisan.

Awal proyek ini adalah 3 tahun lalu, pas gue dan bepe masih kelas 3 SMA. Sejatinya proyek ini milik bepe seorang. Waktu itu, dia pengen bikin kumpulan cerpen yang karakter-karakternya adalah siswa-siswi di kelas kami; IPS 1 atau biasa disebut Unodes.

Dengan semangat menggebu-gebu, satu per satu siswa pun dihidupkan menjadi karakter. Ketika proyeknya seenggaknya sudah mencapai 50%, dia kasih ke gue dan nyuruh gue baca, soalnya cuma kami berdua yang keliatannya tertarik dalam dunia tulis-menulis.

Kemudian sampailah dia terserang penyakit yang berbahaya bagi penulis; kemalasan dan ketidakpercayadirian. Ia ngerasa nggak pede dengan tulisannya dan ngerasa tulisannya cukup buruk untuk dijadikan sebuah buku.

Beberapa bulan kemudian kami udah lulus-lulusan. Proyek menuliskan anak-anak Unodes pun tidak selesai. Lalu ia masuk jurusan Sastra Indonesia, mendapat ilmu baru dan tulisannya pun jauh lebih baik. Lalu ia pun berniat membuat proyek baru dari nol, dan meninggalkan proyeknya sewaktu SMA. Alhasil proyek ini pun terlupakan. Dasar memang anak muda, kalau ada yang baru, yang lama pasti dilupakan. Huh!
*
Dua tahun kemudian, malam di pertengahan tahun 2015 masih sama seperti malam biasanya; gelap. (yaiyalah kalo malem gelap, kalo mau terang mah noh… palanya Zidane)

Saat itu gue lagi pengen membersihkan file-file nggak penting di dokumen laptop. Ketika gue buka my document ternyata emang banyak sampah-sampah bertebaran (baca: tugas kuliah) dan dokumen nggak penting lainnya.

Di saat itulah gue melihat sebuah file yang dipenuhi dengan lumut sedang terbaring di pojokan my document. Ia menyendiri, kesepian, dan tak tahu jalan pulang. Menilik dari banyaknya lalat yang mengerubunginya, ia tampak sudah tak pernah mandi selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Pun bau tak sedap menyeruak bagai asap yang keluar dari cerobong.

Begitulah mengenaskannya keadaan file bernama ‘proyek’. Setelah gue buka file itu, ternyata itu berisi cerpen-cerpen yang tidak lain dan tidak bukan adalah proyek bepe yang enggak selesai 2 tahun sebelumnya.

Gue baca-baca lagi deh cerpennya. Kesan pertama setelah membaca cerpen itu lagi, ternyata bepe benar, cerpen-cerpennya emang nggak layak kalo dibukukan. Maklum masih awal-awal menekuni dunia menulis.

Tapi gue percaya, seburuk-buruknya ide yang sudah jadi karya, masih lebih baik daripada sebagus-bagusnya ide yang tidak dieksekusi. Menulislah seburuk-buruknya, mengedit sebaik-baiknya.

Timbullah ide di pikiran gue, daripada file ini cuma jadi gembel terabaikan, kenapa nggak di-publish jadi buku aja biar dia bisa hidup dengan tenang di atas kertas dan di pikiran pembaca. Apalagi sekarang ada wadah untuk menerbitkan buku secara mudah dan gratis; Nulisbuku.com—yang mana adalah wadah buku ini diterbitkan.

Di malam yang gelap itu, gue pun menyampaikan ide ini ke Bepe, lalu ia mengiyakan.

Gue pun mengumpulkan cerpen-cerpen lama gue yang nggak kalah jeleknya. Cerpen itu juga dibuat juga waktu masih awal-awal belajar nulis.

Setelah itu gue kumpulkan deh semua cerpen-cerpen buruk itu dan mulailah mengedit.
*
Cerpen-cerpen itu bener-bener buruk. Kalo lu nggak bisa bayangin seberapa buruknya tulisan itu, lu bayangin aja patkay sun gokong. Nah kayak gitu dah pokoknya.Tanda baca masih salah salah, banyak kalimat-kalimat yang nggak perlu, ide ceritanya belum kuat, dan sebagainya. Saking buruknya mungkin lebih banyak waktu gue yang dihabiskan pas ngedit dibanding pas nulis cerpen itu sendiri.

Tapi kesulitan bukan masalah berarti, sebab semangat berkarya gue lebih besar dari itu. Semangat itu seenggaknya bertahan hingga 1-2 bulan. Untuk selanjutnya, gue mulai kehabisan bensin. Gue udah nggak konsisten.

Saat ada waktu luang, gue lagi males nulis. Kalo lagi semangat nerusin proyek ini, guenya lagi sibuk. Kadang gue harus ngerjain tugas kuliah, kadang gue ngebantu orangtua gue, kadang juga gue harus ngebantu memerdekakan tawanan Abu Sayyad di Filipina. Jadilah proyek ini ketunda-tunda. Yang tadinya diperkirain selesai tahun 2015, ternyata harus tertunda sampai 2016.

Sulit ternyata menjaga konsistensi. Gue pun bertanya-tanya, gimana ya bisa sekonsisten gaya rambut Kak Seto? karna gue sadar bahwa di dunia ini nggak ada yang sekonsisten gaya rambutnya Kak Seto.

Pas 2016 barulah gue mengumpulkan semangat gue lagi dan bertekad menyelesaikan semuanya.

Akhirnya selesai jugalah di bulan Maret. Karena gue nggak bisa gambar, setelah itu gue pun mencari teman buat ngedesain cover dan ilustrasi di dalamnya. Gue pun menunjuk Therio, yang gue rasa bisa menyaanggupi dan kualitas gambarnya tidak perlu dipertanyakan lagi.
*
Buku ini terdiri dari 17 Cerita dan dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama adalah karya-karya bepe, bagian kedua adalah karya gue.

Gue menyumbang 8 cerita di sana dan ada 2 cerita yang gue benar-bener bikin dari nol untuk buat melengkapi cerpen ini. Sisanya, diambil dari cerpen-cerpen lama gue.

Terciptanya cerita-cerita ini terinspirasi dari banyak kejadian di sekeliling gue. Seperti di cerpen berjudul “Pilihan Tuhan tak akan salah”, itu terinspirasi dari kisahnya Soekarno bersama Mien Hessel, dan juga kisah temen gue bernama Mamat. Di cerita itu, Mamat menembak seorang cewek. Di kejadian nyata hal itu memang terjadi, walaupun ceritanya nggak sama persis dengan aslinya. Meski banyak cerita di sini adalah fiksi, sejumlah temen SMA gue pasti sadar ada beberapa fakta terselip di beberapa cerita.

Di cerpen “Daun yang Gugur Sebelum Waktunya”, karakternya adalah seorang yang ceritanya suka menulis puisi. Di cerita ini sebetulnya pengen menuangkan kecintaan gue dalam berpuisi. Di situ gue juga meminjam puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono dan “Hujan dan Hadiah Ulang Tahun” karya Aan Mansyur, sedangkan sisanya gue buat sendiri.
*
Pakem yang ada, untuk judul buku kumpulan cerpen biasanya diambil dari salah satu judul yang ada di dalem buku. Tapi buat proyek ini, “Coretan di Mata Waktu”, nggak diambil dari salah satu cerpen.

Coretan di Mata Waktu gue pilih karena filosofinya sesuai dengan garis besar konsep pada buku. Cerpen-cerpen di buku ini kan karakternya teman-teman SMA gue dan Bepe, beberapa setting gue bayangkan di sekolah kami, dan bahkan ada sedikit kisah yang diselipkan dari dunia nyata sewaktu SMA, maka secara tidak langsung kami berusaha mengantar teman-teman SMA kami kembali ke masa lalu, walau hanya dalam cerita fiksi.

Mata waktu di sini maksudnya adalah waktu selalu melihat dengan matanya kejadian-kejadian yang pernah kita lalui, kejadian pahit, manis, dan seterusnya. Namun ada kalanya kita lupa kejadian-kejadian itu. Atau kata Latin Proverb “Verba Volant, Scripta Manent”, which means, “Spoken words fly away, written words remain.”

Nah, maka dengan menulis/memberikan coretan di mata waktu, gue berusaha untuk mengabadikan kenangan yang telah lewat, meski, sekali lagi, ini bukan kisah nyata namun hanya cerita fiksi.
*
Seperti dari awal gue bilang, kumpulan cerpen ini sejatinya berkarakter dari temen-temen Unodes. Jadi buat temen-temen Unodes, selain sholat 5 waktu, membaca buku ini hukumnya juga wajib. Bukan cuma Unodes, beberapa anak Smada juga ada dalam cerita, jadi wajib beli juga. Tapi buat temen-temen gue lainnya yang punya uang lebih dan waktu luang, jajankanlah buat beli buku ini

Harga buku ini Rp 58.000. Agak mahal emang, tapi jujur aja nih, keuntungan meteriil dari setiap terjualnya satu buku nggak lebih dari bayaran tukang parkir-yang-awalnya-hilang-namun-pas-kita-mau-keluar-tiba-tiba-dateng-deketin-motor-kita. Royalti terjualnya satu buku kalau gue pake kencing sekali di WC sekitaran Monas juga langsung abis.

Itu emang harga dasar dari nulisbuku.com yang udah mahal. Gue sama sekali nggak nyari untuk dari sini. Sebab tujuan utama gue cuma menyelamatkan cerpen ini dari keterabaian dan membuat ia bisa hidup abadi di pikiran pembaca.
*
Kalau kalian menyempatkan membaca buku ini, sungguh gue senang sekali. Kalau kalian setelah membaca menyempatkan buat nge-review kelebihan dan kekurangan buku ini, sungguh gue lebih senang lagi. Tulislah atau bilang ke gue secara langsung kesalahan-kesalahan sepele semacam typo atau apa pun yang ada di buku ini.

Yang tertarik buat beli buku ini, bisa langung di web Nulisbuku.

Tabik!