Membaca Sebagai Jalan Orang-Orang Malas

A cat caught reading Tolstoy

Saya senang membaca. Membaca buku, majalah, komik, maupun membaca status-status orang di media sosial. (entah yang terakhir ini bisa dikategorikan sebagai aktivitas membaca atau tidak)

Kegemaran saya membaca ini udah muncul dari SD. Semua bacaan saya waktu SD adalah komik-komik jepang semacam Naruto, Doraemon, Yu-gi-oh, Eyeshield 21, dan lain-lain.

Semakin saya beranjak dewasa saya semakin mengurangi bacaan komik dan menyentuh novel. Saya nggak ingat pasti kapan saya mulai membaca novel dan novel apa yang pertama saya baca. Seinget saya, pas SMA barulah saya membaca novel yang sebagain besar adalah novel metropop Ilana Tan, Ika Natassa atau buku-buku Raditya Dika. Itu pun aktifitas membaca saya nggak rutin. Tergantung mood aja, kadang bisa dua bulan sekali, empat bulan dua kali, atau enam bulan tiga kali (Lah sama aje tong).

Ketika lulus dan mulai berkuliah, dan sudah mulai dikit-dikit nulis, barulah bacaan saya bertambah dan rutin. Saya mulai bersentuhan dengan sastra. Sejak itu dalam satu hari, saya menganggap waktu yang saya punya adalah 23 jam. Artinya, satu jam lagi, sudah diwajibkan untuk membaca.

Banyak orang berpikir kalau membaca membuat orang menjadi pintar. Tapi menurut saya malah sebaliknya. Membaca membuat kita semakin bodoh. Tepatnya, menyadarkan kita bahwa kita itu bodoh. Begitu banyaknya hal di dunia ini ternyata yang tidak kita tahu.

Filsuf sebijak Socrates pun menyadari hal ini. Ia pernah berkata pada dirinya sendiri bahwa dia hanya tahu satu hal, yakni bahwa dia tidak tahu apa-apa. Jadi barangkali orang yang bijak itu bukanlah orang yang tahu segala hal, tetapi seorang yang sadar akan kebodohan dirinya. Makanya ia mencari tahu dan mencari tahu.
Tahu bulat, digoreng dadakan~

Orang-orang juga berpikir membaca adalah kegiatan dari golongan orang-orang rajin. Tapi nggak juga sih. Membaca adalah jalan bagi pemalas untuk menikmati waktu. Ketika saya lagi hanyut dalam banyak buku, saya malah malas untuk menulis. Makanya saya mengkambinghitamkan kesenangan membaca atas ketidakproduktifan menulis di tahun 2016.

Dampak dari kesenangan membaca juga membuat saya malas menabung. Setiap orang setidaknya pasti punya satu hal yang ia rela menghabiskan banyak uang pada sesuatu itu tanpa menyesalinya; ada yang senang menghamburkan uang buat jalan-jalan, ada yang buat beli sepatu atau baju, ada yang buat beli buku. Nah saya yang terakhir itu. Sebagian besar uang saya dihabiskan untuk membeli buku. Dan saya tidak menyesalinya.

Padahal di rak masih banyak buku yang belum dijamah. 20an buku mungkin yang mengemis-ngemis minta dibaca. Tapi tetap saja beli buku lain. Lemah syahwat rasanya kalau melihat buku-buku bagus dengan harga jatuh.

Sebenarnya kalau mau, di internet juga banyak buku-buku digital yang bisa diunduh gratis. Tapi saya lebih suka buku fisik. Saya mengandaikan buku adalah perempuan. Jika baca buku digital, ibaratnya, kita hanya bisa melihat perempuan itu ngomong menunjukkan ekspresi seksinya. Ya macam di bigo-bigo lah. Paling banter kita ngetik “turunin dikit dong~”, lalu kita hanya bisa melihat dari layar gawai si perempuan menunjukkan tubuh moleknya.

Kalau membaca buku fisik, dengan sedikit membayar, kita bisa bawa pulang perempuan itu dan perempuan itu bisa diapain aja. Boleh dibuka-buka, disentuh, ditidurin, diapain aja deh pokoknya~

Jadi intinya adalah: Jauhi narkoba dan seks bebas!

(((APAAN ANJAS)))

Membaca membuat orang jadi malas; malas membuka buku pelajaran. Walaupun judulnya sama-sama membaca, tapi membaca buku teks kayaknya beda banget sama karya-karya sastra. Gaya bahasa di buku teks terlalu kaku dan hanya mengedepankan kemampuan otak. Tidak seperti karya sastra merangsang otak dan juga perasaan. Mestinya buku-buku teks itu ditulis dengan bahasa sastra yang mengalir juga sih biar nggak bosen dibaca.

Membaca juga membuat saya malas bersosialisasi. Nggak sampai anti sosial juga sih, cuma membikin saya menjadi semakin introvert. Dan saya bangga.

Sebab membaca, dan juga menulis, adalah dua hal yang tidak bisa saya lakukan kalau ada orang-orang berkeliaran di sekitar saya. Maka dari itu, saya lebih sering dan lebih suka menghabiskan waktu sendiri di kamar.

Itulah cara saya berdamai dengan kesendirian. Kalau kau tahu cara berdamai dengan kesepian, percayalah, kau malah tidak rela meninggalkan kesepian itu, dan hidup tanpa pasangan pun bukan lagi sebuah keresahan besar.
−−−
Menurut data statistik Goodreads, tahun ini saya sudah membaca 64 buku dari 63 buku yang ditargetkan di awal tahun. Ini menjadi jumlah terbanyak yang pernah saya baca. Saya tuliskan daftar buku-buku itu, siapa tahu kau ingin tahu. Tahu bulat, digoreng dadakan~








Itulah buku-buku yang menghabiskan banyak waktu saya di tahun 2016. Walau menghabiskan banyak waktu, saya tidak akan kapok melakukan hal itu lagi.

Setidaknya saya menghabiskan waktu untuk hal yang mulia nan berfaedah. Tapi apa benar banyak membaca berfaedah? Memangnya buku-buku itu akan membawamu ke mana?

Kalau ada orang yang bertanya seperti itu kepada saya, saya pun dengan tegas akan menjawab: Tentu buku-buku itu akan membawa saya ke… ke… ke mana ya? *garuk-garuk kepala*

Ya saya tidak tahu juga ke mana buku-buku itu akan membawa saya. Yang penting saya senang melakukannya, dan barangkali menambah satu-dua pengetahuan baru buat saya.

Tahun depan saya beresolusi akan membaca lebih banyak buku klasik. Saya juga akan memasang target 42 buku untuk dilahap.

Mangsa tahun depan
Target berkurang dari tahun-tahun sebelumnya karena saya mempertimbangkan akan membaca buku-buku tebal yang sudah lama ada di rak, semisal Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan, Burung-burung Manyar-nya Y. B Mangunwijaya, The Prague Cemetery-nya Umberto Eco, War and Peace-nya Tolstoy, buku-buku Pram dan Murakami (Kalau ini tiap tahun wajib dibaca), dan lainya menyusul. Ditambah lagi, kemungkinan waktu akan banyak tersita di semester 6 nanti untuk mengerjakan Penelitian Ilmiah.

Seperti saya bilang sebelumnya, saya baru menyentuh dunia sastra selepas lulus SMA. Dalam hidup, pasti ada beberapa hal yang kita sesali di hari lalu. Kalau saya, salah satu yang saya sesali di hari lalu adalah, tidak mengenal karya-karya sastra lebih dini.

“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai” -Pramoedya Ananta Toer

Kemalasan yang Menjelma

Kemalasan yang Menjelma
pexels

 Tahun 2016 ini bisa dibilang menjadi tahun tidak terproduktif saya dalam beberapa tahun terakhir. Jarang menulis apa pun untuk diri sendiri dan untuk blog ini. Dalihnya pun sama seperti sebelum-sebelumnya; sibuk dan lagi gak mood.

“Lagi gak mood” rasanya menjadi alasan terkeren dari para pegiat kreatif yang memang harus menggunakan banyak perasaan di dalamnya. Saya pun menunggu mood untuk menulis lagi. Setelah menunggu… menunggu… menunggu… menunggu… eh taunya doi malah jadian sama orang lain. Huft.

Maksud saya, mood udah ditunggu-tunggu tapi kok tidak muncul-muncul. Jadi, di manakah ia berada? Apa mood itu benar-benar ada? Atau itu hanya akal-akalan manusia saja untuk membenarkan kemalasannya sendiri? Ah entahlah, hanya Mamah Dedeh yang bisa menjawabnya.

Kalau mood benar ada, bagaimana bisa Paulo Coelho, atau Haruki Murakami, atau Danielle Steel, atau atau Stephen King, atau Sir Arthur Conan Doyle melahirkan begitu banyak karya. Kalau mood benar ada, pastilah karya-karya besarnya tidak akan pernah sampai ke tangan pembaca.

Jadi sepakati saja mood itu hanya mitos.

Kemudian, sibuk, dalih ini pun perlu ditelusuri lagi lebih lanjut. Orang yang selalu beralasan sibuk dalam menghindari sesuatu, apa memang kesibukkan mengambil 24 jam waktunya? Kalau orang mencintai sesuatu, pasti ia menyempatkan diri untuk melakukan apa yang ia cintai. Seharusnya.

Jadi paham kan? Kalau kekasihmu nggak ngabarin dengan alasan sibuk, udah putusin aja~

Kalau saya mengengok ke belakang, sepertinya saya tidak begitu sibuk. Ada yang lagi dikerjakan sih, tapi, sebenarnya tidak kuat untuk dijadikan alasan juga. Satu-satunya yang menyibukan saya yaitu membaca dan menonton film. Itu pun kalau bisa dibilang kesibukan.

Membaca dan menonton film, bagi seorang pemalas seperti saya, adalah aktivitas termudah untuk bercengkrama dengan diri sendiri. Tidak perlu capek-capek ke luar rumah, kita seolah diajak berplesir dari satu tempat ke tempat lain, berpindah dari situasi ke situasi lain, dan jalan-jalan ke waktu lampau, waktu kini, sampai ke masa depan.

Dengan melakukan aktivitas-aktivitas itu saya pun tidak ingat lagi kapan pernah menggunakan kata bosan dalam hidup. Mungkin yang bakal membuat saya bosan jika tidak ada buku atau film yang bisa dibaca dan ditonton. Tapi sayangnya, sekeras apa pun saya berusaha, semua buku-buku dan film-film menjelma jalan-jalan yang tak berujung. Tidak cukup hidup 1000 tahun pun untuk menghabiskan semuanya.

Menulis juga bisa menjadi cara untuk bersenang-senang dengan diri sendiri. Tapi kadang menulis juga menyebalkan, sebab ia butuh berpikir untuk melakukannya. Tulisan tidak jelas seperti ini pun, saya perlu berpikir apa saja yang mau saya tuliskan.

Saya akan membicarakan perihal kesenangan saya membaca dan menonton lebih panjang di tulisan selanjutnya.

Jadi intinya, mood itu hanya mitos dan tidak ada kesibukan yang absolut. Semua hanya bermuara dari kemalasan.

Tahun baru, semangat baru. Seperti sekarang ini, semangat saya menulis sedang menggebu-gebu. Meski biasanya cuma diawal-awal tahun aja.

Semoga aja tahun 2017 saya bisa menjadi lebih produktif, lebih baik, lebih ganteng (ini susah sih). Seinget saya sih, saya pernah mengucapkan ini. Tapi anggap saja lah ‘semoga’ itu sebagai mantra. Yang kekuatannya perlahan-lahan memudar dan perlu diberpaharui.

Selamat tahun baru 2017.
Salam telolet.

Jika Ada Rindu yang Tidak Pernah Tertidur

Jika Ada Rindu yang Tidak Pernah Tertidur
Jika ada rindu yang tidak pernah tertidur,
itu adalah rindu sehimpun pasir gurun
menanti kepastian yang tiada dari seorang
perempuan yang tercipta dari rintik hujan.

Jika rindu adalah kayu bagi penantian jenuh,
telah mampu kubangun ia menjadi behtera Nuh.
Takkan ada barang-barang atau besar binatang-binatang.
Semua ruang telah sesak oleh hal-ikhwal tentangmu
yang kian merisak. Di palka, hanya ada aku seorang sedang
memetik waktu yang berdetak di jantungku, menghitung
berapa lama jarak telah menepikan kita, sambil
bertanya-tanya kapan pertemuan selanjutnya yang entah.

Sesungguhnya aku suka dengan kepergian yang sementara.
Kepergian yang tidak memberi kepastian pulang, mengasihi
ruang bagi rindu untuk berkembang.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan saat kepergian sementara,
semisal; aku bisa mendoakanmu diam-diam dan kau
setiap malam menapaskan namaku dalam-dalam.
Pula kita bisa membuat satu permainan tebak-tebakan
: Sabar milikku atau kau yang masih subur meski hati dipenuhi bilur?

Pada akhirnya kita pun akan tahu
Tabah siapa yang lebih awal takluk di hadapan penantian.

Aku rasa kau pasti akan kalah lagi seperti biasanya.
Kemudian kau menahan diri untuk kembali rengkah
ke bentuk ringkih yang rengkuh rintik hujan.
Namun semestinya, kau tidak berusaha meredam itu.
Jika bandang airmata tidak mungkin lagi untuk dibendung,
menangis sajalah, sayang, menangislah!

Biar aku bisa menyamar jadi sebuah resah,
yang akan pulang tiap kali pipimu basah.

Memilih dan Memilah Media Sosial

Image Source: Socialmediatoday
Belum lama ini gue baru mengunfollow akun twitter temen-temen gue yang udah lama nggak aktif twitternya. Hampir 100 akun gue unfollow, lalu gue tersadar kalo temen-temen gue sepertinya sekarang sudah pada meninggal… kan media sosial twitter.

Zaman sekarang media sosial itu jumlahnya udah sebanyak permasalahan di negeri kita. Iya nggak sih?

Ada Twitter, Facebook, Path, Instagram, Snapchat, Vlog dan aneka ragam lainnya. Media sosial itu semua bisa didapatkan dengan mudah hanya dengan sebuah email. Nggak perlu ribet-ribet beli di toko atau nyari di toko online. Emang ada gitu orang jual facebook second? kan nggak ada ceritanya.

Walaupun sosmed berjibun, gue termasuk orang yang nggak begitu terbawa arus dengan sosmed-sosmed baru. Gue aktif paling cuma di Twitter dan Instagram. Gue memilih sedikit aktif sosial media agar bisa memilah waktu ber-sosial media dengan waktu lain yang bisa digunakan buat sesuatu yang lebih produktif.

Gue memainkan sosmed yang sekiranya memiliki faedah dalam hidup gue. Bukan sekadar ikut-ikut yang lagi tren aja.

Semisal di Twitter, Twitter menurut gue adalah socmed paling cepat buat menangkap informasi-informasi dari seluruh penjuru dunia. Twitter juga bisa jadi ajang sebar kegiatan/aktivitas sosial atau pun acara-acara menarik yang akan berlangsung di sekitar kita. Sering gue menemukan acara-acara yang sesuai dengan ketertarikan gue lalu gue mengunjungi itu.

Dari twitter gue juga bisa mengetahui jalan pertandingan sepak bola tanpa harus menontonnya secara langsung, yakni dengan live tweet. Lebih-lebih, gue bisa terhibur dengan masalah yang sedang ramai diperbincangkan lalu dijadikan guyonan oleh sejumlah pengguna twitter. Gue juga kadang bisa lihat sebuah permasalahan dari 2 sisi dengan terciptanya perang (tweet war) yang keluar dari kicauan dari sekelompok golongan yang sama-sama merasa paling benar.

Kalau di Instagram, gue seneng ngeliat keindahan-keindahan yang dikemas dalam satu gambar. Instagram itu seperti memanjakan mata dan kadang memberikan inspirasi yang tak terduga. Di media sosial itu ada juga video-video pendek yang bisa jadi hiburan. Gue juga menganggap Instagram sebagai tempat album foto kecil yang merekam diri gue dari tahun ke tahun.

Cuma dua socmed itulah yang paling sering gue buka. Yang lainnya gue tidak melihat manfaat banyak yang bisa didapat. Dulu gue punya path, namun seiring waktu lewat, gue bosen aja. Gue ngeliat path adalah tempat orang-orang mau pamer, nggak iya sih?

At Bandara Dakar Yoff Léopold Sédar Senghor Senegal – with Papa Alioune Ndiaye
Itu salah satu moment yang bakal ditemukan di Path. Apa sebenarnya tujuan membuat status di Path seperti itu? Secara nggak langsung kan sebenarnya mereka mau bilang ke temen-temennya, “Eh gue tuh lagi di Senegal nih sekarang!”

Bagi gue path ini sih pasnya buat nge-stalk gebetan. Kita jadi bisa tau gebetan lagi ngapain, lagi jalan sama siapa, dan menganalisis kesukaannya apa aja. Kita juga jadi bisa tau kapan harus maju atau mundur dalam pengejaran gebetan. Kalau gebetan lu sering update suka makan darah biawak, udah deh mundur aja bro kalo gitu.

Di path bakal ditemukan juga pasti orang-orang yang lagi makan apa diupdate, nonton apa diupdate, lagi berak diupdate, lagi update diupdate #apasih, pokoknya segala aktivitas sehari-hari diupdate dah.

Tidak bisa disalahkan sebenarnya mereka yang suka update aktivitasnya. Gue rasa setiap orang butuh perhatian. Terjunlah mereka ke media sosial. Dengan ngeshare momen kemudian momen itu di-comment, di-like atau di-love, mereka merasa wadah perhatian di hatinya itu perlahan terisi penuh.

Gue juga melihat bahwa keresahan manusia di era digital ini adalah sebuah eksistensi. Sebagian besar orang di media sosial itu sebenarnya ingin menunjukkan eksistensinya. Mereka perlu pamer agar eksistensinya itu diakui. Mereka juga ingin menunjukkan bahwa eksistensinya itu bukan sekadar mengurangi kadar oksigen doang di dunia ini.

Kalau dulu Rene Descartes pernah berujar Cogito Ergo Sum “Saya berpikir, maka saya ada!” maka zaman sekarang kalimat itu sudah berganti Saya main media sosial, maka saya ada!

Berbeda orang, berbeda juga cara menunjukan eksistensinya. Gue cenderung menunjukkan eksistensi gue, ya, dari tulisan-tulisan gue, terutama di blog ini. Bisa jadi sekarang di tulisan ini gue lagi caper aja.

Gue yang sekarang bukan orang yang suka ngasitau gue lagi ngapain saat ini, lagi di mana, lagi sama siapa. Maka dari itu, gue dan path merasa tidak cocok lagi. Dengan menguatkan segenap hati, kami berpisah. Gue pun menghapus akun path gue.

Gue juga tidak bermain snapchat atau vlog. Dua sosmed ini setipe ya, cuma mungkin snapchat versi pendeknya aja dan lebih tidak terskenario.

Ada 2 hal kenapa gue nggak bermain sosmed ini. Pertama, muka gue nggak videogenik. Kedua, kehidupan gue terlalu membosankan untuk ditonton.

Sebetulnya gue nggak pernah merasa bosan dalam melakukan aktivitas-aktivitas gue, tapi kalo aktivitas gue dijadikan tontonan, sudah pasti yang menonton bakal lebih memilih untuk pura-pura mati dibanding menonton video itu sampe abis.

Karena aktivitas reguler gue ya gitu aja. Bangun tidur
berangkat kuliah langsung pulang ke rumah buka laptop makan tidur. Setelah tidur, siklus diulangi dari awal. Begitu terus sampe Limbad jadi rapper.

Mungkin gue bakal mempertimbangkan buat bikin snapchat/vlog kalo aktivitas gue itu punya potensi untuk menarik viewer, semisal: Bangun tidur
sholat subuh Melatih anak cheetah di Taman Safari Madagaskar.

Beuh…

Masih banyak lagi jenis-jenis media sosial lainnya sebetulnya. Dan kemungkinan besar media sosial akan bertambah terus. Dari banyaknya media sosial, sebagimana yang sudah gue bilang tadi, gue memilih yang banyak faedahnya buat diri gue.

Argumen yang gue tulis di sini itu dari perspektif gue aja, setiap orang punya pandangan lain tentang media sosial yang dianut. Walaupun muaranya pasti bakal sama, yaitu sebuah eksistensi diri.

Dari semua media sosial yang ada sampe saat ini, gue masih menjatuhkan pilihan gue pada Twitter. Kalau kalian hanya bisa memiliki satu akun media sosial dalam hidup, dengan alasan dan segala pertimbangan, sosial media apa yang kalian pilih?


Epitaf Kata Kita di Suatu Kota

Epitaf Kata Kita di Suatu Kota

Kulihat kesedihan dari pekat kopi yang terseduh pagi ini.
Hitam, yang dalam pahitnya terselip sendu yang tenggelam.

Matahari masih menggantung di langit yang sama,
tapi hangatnya tak akan pernah sama lagi sampainya
di kulit kita.

Tidak ada lagi kita sedianya. Kata kita sudah beranjak
dari kau dan aku. Kalender memulas kita dengan warna
selain hitam dan merah di luar tubuhnya. Tidak akan ada
lagi kita hari ini, besok, tulat, tubin atau kapan pun.
Masa depan kita hanya akan ditemukan di masa silam.

Kenangan, satu-satunya tempat kita menyimpan angan.
Sekali waktu kau pernah berkata:
Aku mencintaimu sesederhana anak kecil
yang mengidam-idamkan sebuah balon.
Ketika seseorang merebut balon itu dariku,
apiku akan membakar belantara hutan.
Saat balon itu lepas dari genggaman,
aku akan menangis hingga menenggelamkan
suatu kota.


Aku membalas bahwa aku mau jadi balon itu.
Aku; jasad yang takut malam yang dingin,
hanya mau menjadi apa yang kau ingin.

Akan tetapi, semua kata-kata dari harilalu
kerap bakal jadi pengungsi pula di haridepan.
Setengah kata bertahan hidup, sebelah janji perlahan redup.
Karena bagi mereka—termasuk kita
yang ingar-bingar oleh dentum kuntum cinta,
kata-kata hanyalah janji yang akan ingkar diri.
Dan janji menjelma kita yang menolak untuk ditepati.

Langkah yang sempat kita tabung untuk haridepan
adalah makna yang hilang arah. Di wajah takdir,
kita sepasang semoga yang sudah pasrah.

Kini kau dan aku akan mengakhiri kata kita.
Kita; dua pengungsi masadepan
yang tidak bertahan hidup.


Puisi Descendent of the Sun part 2



Melupa atau Meluka?
-kepada Yo Shi-Jin

Kita sedang berupaya saling melupakan
atau kita hanya melukakan diri kita masing-masing?

Terakhir kita berjumpa adalah di sebuah kafe. Tak banyak orang
di sana, kita duduk di dekat kaca dan di dekat rasa nyeri yang
mengumpat di dada. Tak kau tampakkan menariknya sungging
senyummu dan lelucon aneh yang selalu kunantikan itu.

Setiap kau mulai pergi, diriku selalu diterpa badai tanda tanya.
: Ke mana pria yang menarik perhatianku itu menghilang?
Apa yang dia lakukan?

Tapi saat kita bertemu, kau tak mengatakan apa pun
padaku. Itu dilarang, kan?

Senang mengenalmu,” ucapmu pada akhirnya,
selamat tinggal.

Tikaman tepat di sanubari sesaat kata terakhirmu itu
terlontar sebelum aku beranjak dari tempat duduk. Entahlah,
bukankah kepergian ini aku yang menginginkan? Mengapa
aku pula yang harus merasakan sakit paling mendalam?

Aku pergi, tanpa meninggalkan setetes airmata. Meski tanpa
rinai di pelupuk, jangan berpikir kalau aku akan baik-baik saja.
kesedihan paling mendalam justru ada ketika seseorang harus
pura-pura menahan tumpah airmata demi menunjukkan
siapa di antara siapa yang tampak lebih kuat menyambut kepergian.

Kalau kukatakan ini langsung padamu, apa kau setuju denganku?
Apa kau merasakannya juga?
   
Kepalaku telah kubelikan penghapus untuk membersihkan
segala hal yang menyangkut namamu. Namun kurasa 
seluruhmu noda permanen. Semakin aku berusaha melupakan, 
diriku seperti meminum racun yang kubuat sendiri, 
dengan harap kematianmu di kepalaku segera tiba.

Padahal kau tak pernah menitipkanku suatu apa.
Hanya ingatan satu-satunya pemberian yang kau tinggalkan.
Ah, barangkali itulah mengapa ia bernama ingatan.
Ingatan tidak diajarkan untuk melupa.
Bila dipaksa, ia cuma akan memberi duka. 

Untuk bisa melupa, aku belajar membenci.
Aku benci kau. Aku benci senyummu.
Aku benci kau yang kerap meninggalkanku tiba-tiba.
Aku benci kau yang tak pernah memikirkan perasaanku
dan bahkan kerap tak memikirkan perasaanmu sendiri.
Aku benci segala tentang kau.

Aku sungguh benci kau. Tapi sialnya, kebencianku jauh
lebih sedikit dan tidak akan pernah cukup untuk
melampaui rasa inginku bersamamu.

Puisi Descendent of the Sun

Puisi di bawah ini terinspirasi dari drama korea yang saya suka yakni Descendent of the Sun. Drama ini bercerita tentang 2 tokoh yang saling mencinta namun kerap dipisahkan oleh pekerjaan mereka masing-masing. Si pria (Yo Shi-Jin) berprofesi sebagai tentara, dan si wanita (Kang Mo Yeon) adalah seorang dokter. Kebayang kan gimana pertemuan sulit hadir di tengah-tengah mereka.

Karena saya orangnya baperan, dan drama ini bisa menyentuh relung hati saya, saya pun tergerak untuk menginterpretasikannya menjadi puisi. Saya mencoba masuk ke jiwa Yo Shi Jin dan mencoba menuangkan apa yang ia rasakan. Mungkin sejatinya dia lebih sering memakai pistol sebagai senjata, bukan memakai kata-kata, namun bukankah kedua hal itu itu sama-sama berbahaya dan sama-sama harus digunakan dengan hati-hati?
 
*kalimat yang dicetak miring di puisi berikut adalah kalimat yang saya pinjam dari dialog filmnya.




***

Meluka Lupa
-Untuk Kang Mo Yeon

Bagaimana mungkin hujaman peluru di medan perang tidak pernah
menbinasakanku, namun parang matamu bisa membunuhku
berulang-ulang kali dan berkali-kali lebih ulung?

Apa kau sudah minum obatmu?

Alih-alih menyakiti diriku, luka tembak di perut ini merupakan
keberuntungan yang membawaku pada pertemuan denganmu.
sebetulnya, kau tahu, luka di dalam atau luar tubuhku seakan
menyembuhkan dirinya sendiri kala tiba ia bersua matamu.

Aku masih ingat ketika kita hampir menonton film kesukaan kita.
seharusnya itu menjadi salah satu waktu paling bahagia yang
pernah kualami. Memiliki seutuh senyummu, seolah-olah
lekuk itu hanya diciptakan untukku seorang.

Ini adegan yang paling ditunggu di bioskop,” ucapmu kala itu,
tepat sebelum lampunya dimatikan.

Ini saat paling kutunggu dalam hidupku,” balasku, “aku bersama
wanita cantik dan lampunya dimatikan.


Akan tetapi, sebelum film diputar, lagi-lagi aku harus meninggalkanmu.
Aku harus membela negara yang bersikeras dituruti. Pekerjaanku ini
kadang memang menyebalkan sekali. Ia kerap jadi kekasih pencemburu
dan membenci orang-orang yang kucintai. Dan kau adalah orang yang
paling ia benci. Jangan tanyakan mengapa.

Kini kewajiban itu menjaukan diriku lebih jauh dari wanita yang paling
kucintai; kau. Aku mengerti, kau sudah lelah terus menerus ditinggalkan.

Matamu berkaca. Yang mana pecahannya mencacah hatiku bertubi-tubi.
Perpisahan pun sudah menunggu di depan pintu. Siap membawa kita
pergi dari teduhnya renjana yang saat ini kita tempati.

Kurasa inilah waktu untuk kita menghenti upaya melukakan,
barangkali dengan cara mencoba saling melupakan.

Langkah kaki kita harus menjauh pergi,
bahkan sebelum kita benar-benar saling memiliki.




Hujan Maaf Semalaman


Dalam tubuhku selalu ada kali tercemar mengalir
alur airnya pada pipa-pipa pembuluh selain darah.
Yang jatuh berulang kali melupakan asal mereka
serupa air mata dari seorang penyedih paling tulus.

Kali itu; yang dibenci orang namun dicintai api,
mengusik keheningan pikiran dan mengusak kebeningan
mata air dalam jiwa, dengan aroma tidak sedap
yang semakin sampah.

Padahal sukma terlalu murni untuk menyimpan barang
senoktah hitam usam yang menyebut dirinya sebagai kesalahan.

Biarlah hujan maaf turun semalaman membersihkannya.
Menanggalkan untuk meninggalkan tubuh usangku
yang kian gersang.



Depok, 26 Juli 2015



***
Berhubung sekarang masih suasana lebaran, mohon maaf lahir batin ah, maafkan kesalahan saya yang saya lakukan secara online ataupun offline. Maafkan kesalahan saya yang tidak disengaja dan yang tak disengaja ya (saya tidak menyebut "kesalahan saya yang disengaja", sebab sepengetahuan saya, saya tidak pernah melakukan kesalahan dengan sengaja). Maafkan juga jika diblog ini ada kata-kata yang menyinggung perasaan Anda.

Omong-omong, puisi di atas merupakan salah satu dari dua puisi pertama saya yang dijadikan antologi buku puisi edisi lebaran tahun kemarin.

Rilis Buku: Coretan di Mata Waktu


Mari awali tulisan ini dengan mengucap hamdalah

hamdalah…

Alhamdulillah proyek buku yang sudah dikerjakan selama lebih dari 3 tahun akhirnya selesai juga. Proyek yang benar-benar menguras waktu, tenaga, dan pikiran gue.

Eh tapi nggak dikerjain selama 3 tahun juga sih sebenarnya, itu biar keliatan keren aja, biasanya kan semakin lama proses penulisannya semakin keren hasilnya.

Proyek ini adalah karya kolaborasi karena bukan cuma penyanyi yang bisa duet. Bukan cuma Duo Serigala yang bisa unjuk dada gigi. Gue dan Bepe, selaku penulis receh, bisa juga berduet dengan tulisan.

Awal proyek ini adalah 3 tahun lalu, pas gue dan bepe masih kelas 3 SMA. Sejatinya proyek ini milik bepe seorang. Waktu itu, dia pengen bikin kumpulan cerpen yang karakter-karakternya adalah siswa-siswi di kelas kami; IPS 1 atau biasa disebut Unodes.

Dengan semangat menggebu-gebu, satu per satu siswa pun dihidupkan menjadi karakter. Ketika proyeknya seenggaknya sudah mencapai 50%, dia kasih ke gue dan nyuruh gue baca, soalnya cuma kami berdua yang keliatannya tertarik dalam dunia tulis-menulis.

Kemudian sampailah dia terserang penyakit yang berbahaya bagi penulis; kemalasan dan ketidakpercayadirian. Ia ngerasa nggak pede dengan tulisannya dan ngerasa tulisannya cukup buruk untuk dijadikan sebuah buku.

Beberapa bulan kemudian kami udah lulus-lulusan. Proyek menuliskan anak-anak Unodes pun tidak selesai. Lalu ia masuk jurusan Sastra Indonesia, mendapat ilmu baru dan tulisannya pun jauh lebih baik. Lalu ia pun berniat membuat proyek baru dari nol, dan meninggalkan proyeknya sewaktu SMA. Alhasil proyek ini pun terlupakan. Dasar memang anak muda, kalau ada yang baru, yang lama pasti dilupakan. Huh!
*
Dua tahun kemudian, malam di pertengahan tahun 2015 masih sama seperti malam biasanya; gelap. (yaiyalah kalo malem gelap, kalo mau terang mah noh… palanya Zidane)

Saat itu gue lagi pengen membersihkan file-file nggak penting di dokumen laptop. Ketika gue buka my document ternyata emang banyak sampah-sampah bertebaran (baca: tugas kuliah) dan dokumen nggak penting lainnya.

Di saat itulah gue melihat sebuah file yang dipenuhi dengan lumut sedang terbaring di pojokan my document. Ia menyendiri, kesepian, dan tak tahu jalan pulang. Menilik dari banyaknya lalat yang mengerubunginya, ia tampak sudah tak pernah mandi selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Pun bau tak sedap menyeruak bagai asap yang keluar dari cerobong.

Begitulah mengenaskannya keadaan file bernama ‘proyek’. Setelah gue buka file itu, ternyata itu berisi cerpen-cerpen yang tidak lain dan tidak bukan adalah proyek bepe yang enggak selesai 2 tahun sebelumnya.

Gue baca-baca lagi deh cerpennya. Kesan pertama setelah membaca cerpen itu lagi, ternyata bepe benar, cerpen-cerpennya emang nggak layak kalo dibukukan. Maklum masih awal-awal menekuni dunia menulis.

Tapi gue percaya, seburuk-buruknya ide yang sudah jadi karya, masih lebih baik daripada sebagus-bagusnya ide yang tidak dieksekusi. Menulislah seburuk-buruknya, mengedit sebaik-baiknya.

Timbullah ide di pikiran gue, daripada file ini cuma jadi gembel terabaikan, kenapa nggak di-publish jadi buku aja biar dia bisa hidup dengan tenang di atas kertas dan di pikiran pembaca. Apalagi sekarang ada wadah untuk menerbitkan buku secara mudah dan gratis; Nulisbuku.com—yang mana adalah wadah buku ini diterbitkan.

Di malam yang gelap itu, gue pun menyampaikan ide ini ke Bepe, lalu ia mengiyakan.

Gue pun mengumpulkan cerpen-cerpen lama gue yang nggak kalah jeleknya. Cerpen itu juga dibuat juga waktu masih awal-awal belajar nulis.

Setelah itu gue kumpulkan deh semua cerpen-cerpen buruk itu dan mulailah mengedit.
*
Cerpen-cerpen itu bener-bener buruk. Kalo lu nggak bisa bayangin seberapa buruknya tulisan itu, lu bayangin aja patkay sun gokong. Nah kayak gitu dah pokoknya.Tanda baca masih salah salah, banyak kalimat-kalimat yang nggak perlu, ide ceritanya belum kuat, dan sebagainya. Saking buruknya mungkin lebih banyak waktu gue yang dihabiskan pas ngedit dibanding pas nulis cerpen itu sendiri.

Tapi kesulitan bukan masalah berarti, sebab semangat berkarya gue lebih besar dari itu. Semangat itu seenggaknya bertahan hingga 1-2 bulan. Untuk selanjutnya, gue mulai kehabisan bensin. Gue udah nggak konsisten.

Saat ada waktu luang, gue lagi males nulis. Kalo lagi semangat nerusin proyek ini, guenya lagi sibuk. Kadang gue harus ngerjain tugas kuliah, kadang gue ngebantu orangtua gue, kadang juga gue harus ngebantu memerdekakan tawanan Abu Sayyad di Filipina. Jadilah proyek ini ketunda-tunda. Yang tadinya diperkirain selesai tahun 2015, ternyata harus tertunda sampai 2016.

Sulit ternyata menjaga konsistensi. Gue pun bertanya-tanya, gimana ya bisa sekonsisten gaya rambut Kak Seto? karna gue sadar bahwa di dunia ini nggak ada yang sekonsisten gaya rambutnya Kak Seto.

Pas 2016 barulah gue mengumpulkan semangat gue lagi dan bertekad menyelesaikan semuanya.

Akhirnya selesai jugalah di bulan Maret. Karena gue nggak bisa gambar, setelah itu gue pun mencari teman buat ngedesain cover dan ilustrasi di dalamnya. Gue pun menunjuk Therio, yang gue rasa bisa menyaanggupi dan kualitas gambarnya tidak perlu dipertanyakan lagi.
*
Buku ini terdiri dari 17 Cerita dan dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama adalah karya-karya bepe, bagian kedua adalah karya gue.

Gue menyumbang 8 cerita di sana dan ada 2 cerita yang gue benar-bener bikin dari nol untuk buat melengkapi cerpen ini. Sisanya, diambil dari cerpen-cerpen lama gue.

Terciptanya cerita-cerita ini terinspirasi dari banyak kejadian di sekeliling gue. Seperti di cerpen berjudul “Pilihan Tuhan tak akan salah”, itu terinspirasi dari kisahnya Soekarno bersama Mien Hessel, dan juga kisah temen gue bernama Mamat. Di cerita itu, Mamat menembak seorang cewek. Di kejadian nyata hal itu memang terjadi, walaupun ceritanya nggak sama persis dengan aslinya. Meski banyak cerita di sini adalah fiksi, sejumlah temen SMA gue pasti sadar ada beberapa fakta terselip di beberapa cerita.

Di cerpen “Daun yang Gugur Sebelum Waktunya”, karakternya adalah seorang yang ceritanya suka menulis puisi. Di cerita ini sebetulnya pengen menuangkan kecintaan gue dalam berpuisi. Di situ gue juga meminjam puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono dan “Hujan dan Hadiah Ulang Tahun” karya Aan Mansyur, sedangkan sisanya gue buat sendiri.
*
Pakem yang ada, untuk judul buku kumpulan cerpen biasanya diambil dari salah satu judul yang ada di dalem buku. Tapi buat proyek ini, “Coretan di Mata Waktu”, nggak diambil dari salah satu cerpen.

Coretan di Mata Waktu gue pilih karena filosofinya sesuai dengan garis besar konsep pada buku. Cerpen-cerpen di buku ini kan karakternya teman-teman SMA gue dan Bepe, beberapa setting gue bayangkan di sekolah kami, dan bahkan ada sedikit kisah yang diselipkan dari dunia nyata sewaktu SMA, maka secara tidak langsung kami berusaha mengantar teman-teman SMA kami kembali ke masa lalu, walau hanya dalam cerita fiksi.

Mata waktu di sini maksudnya adalah waktu selalu melihat dengan matanya kejadian-kejadian yang pernah kita lalui, kejadian pahit, manis, dan seterusnya. Namun ada kalanya kita lupa kejadian-kejadian itu. Atau kata Latin Proverb “Verba Volant, Scripta Manent”, which means, “Spoken words fly away, written words remain.”

Nah, maka dengan menulis/memberikan coretan di mata waktu, gue berusaha untuk mengabadikan kenangan yang telah lewat, meski, sekali lagi, ini bukan kisah nyata namun hanya cerita fiksi.
*
Seperti dari awal gue bilang, kumpulan cerpen ini sejatinya berkarakter dari temen-temen Unodes. Jadi buat temen-temen Unodes, selain sholat 5 waktu, membaca buku ini hukumnya juga wajib. Bukan cuma Unodes, beberapa anak Smada juga ada dalam cerita, jadi wajib beli juga. Tapi buat temen-temen gue lainnya yang punya uang lebih dan waktu luang, jajankanlah buat beli buku ini

Harga buku ini Rp 58.000. Agak mahal emang, tapi jujur aja nih, keuntungan meteriil dari setiap terjualnya satu buku nggak lebih dari bayaran tukang parkir-yang-awalnya-hilang-namun-pas-kita-mau-keluar-tiba-tiba-dateng-deketin-motor-kita. Royalti terjualnya satu buku kalau gue pake kencing sekali di WC sekitaran Monas juga langsung abis.

Itu emang harga dasar dari nulisbuku.com yang udah mahal. Gue sama sekali nggak nyari untuk dari sini. Sebab tujuan utama gue cuma menyelamatkan cerpen ini dari keterabaian dan membuat ia bisa hidup abadi di pikiran pembaca.
*
Kalau kalian menyempatkan membaca buku ini, sungguh gue senang sekali. Kalau kalian setelah membaca menyempatkan buat nge-review kelebihan dan kekurangan buku ini, sungguh gue lebih senang lagi. Tulislah atau bilang ke gue secara langsung kesalahan-kesalahan sepele semacam typo atau apa pun yang ada di buku ini.

Yang tertarik buat beli buku ini, bisa langung di web Nulisbuku.

Tabik!

Menunggu Keadilan Pulang - Hidup di Negeri Palsu

Source: Twitter @IrenaBuzarewicz
Menunggu Keadilan Pulang
 
Aku hidup di antara orang-orang yang lebih suka
menghitung angka-angka dibanding membaca kata-kata.
Satu-satunya yang dirapal dan dia hapal
adalah nama-nama pahlawan pada kertas berangka
yang diagung-agungkan seperti Tuhan.

ia tahu Tuhan selalu mengikuti dan melihat
apa yang dilakukan oleh manusia dan
menilai perbuatan itu baik atau buruk.
"Tugas wasit sepak bola pun demikian,"
sangkalnya secara sadar tanpa sedikit pun gentar.

Dia, dia, dia, dan dia kian menjelma kucing liar.
Diberikan ikan asin tak berhenti mengunyah,
tak ada ikan asin berarti harus mencari atau mencuri.
Dan aku bertanya-tanya; dia itu kucing yang senantiasa
lapar, apa kucing yang tak mengenal kenyang?

Ia menghitung satu sampai sejuta,
tapi angka-angka masih banyak dan selalu kurang.
Ia jua tak minta diberikan sepuluh pemuda,
terlalu banyak makan serta menghabiskan uang.

Beberapa kali aku melihat kutipan Rene Descartes
lalu membacanya dengan lantang.
"Aku berpikir, maka aku ada!"
Tapi bantahan mereka selalu lebih unggul meski
sorak-semarai hanya terjadi dalam kalbu.
"Aku korupsi, maka aku ada!"

Penderitaanku--kita, menjadi hidangan pencuci mulut
yang dia makan sambil tertawa bersama rekan-rekan.
Suara kita semata-mata dentingan sendok pengaduk
kopi yang mengusir sunyi. Mengganggu percakapan!
Sedang, dia menikmati waktunya yang sebenarnya tidak
lebih panjang dari tinggi badanku.

Pada kematiannya yang dingin, orang-orang akan
berduka cita dan bersuka cita sambil terbahak-bahak
kala tiba hari di mana ia akan diadili tanpa remisi.

2015




Hidup di Negeri Palsu

 
makanan di negeri palsu serba palsu
beras palsu, bakso palsu, ikan palsu
gorengan palsu, daging sapi palsu
semua terasa halal selama tak melumpuhkan kantung celana
dan langsung menenggelamkan tubuh menjadi rongsok
yang siap jadi santapan rakusnya burung pemakan bangkai.


tak perlu pendidikan tinggi-tinggi dan melawat
jauh sampai ke negeri cina yang barangkali
garis hitam kumbang menggarit cakar ayam
di atas lembar kosong berwarna awan
sudah bisa mewujudkan mimpi masa kanak-kanak
bernaung di gedung besar berbalut asap kendaraan
pinggir ibukota yang berdiri angkuh.

para petinggi di negeri palsu yang kerap kali
melontar ujaran dengkul nan elok serta terbuat
dari tak setianya semburat senja
yang dikulum lembayungnya lama-lama
sampai membuat langit-langit mulut dan lidahnya
menampakkan keindahan yang alangkah raya.

dan rakyat yang tubuhnya kian jadi mayat
seolah terpana melihat keindahan dan
kelihaiannya bermain sulap dan saling salip
dalam upaya mengabur segala rahasia dan
mengubur banyak orang yang mulai sia-sia.

satu-satunya yang asli dari negeri palsu
adalah kepalsuan itu sendiri.
dengan mata lipas tertutup tiras, rakyat
negeri palsu berjuang melacak yang tak palsu
bahkan untuk asih dari seorang kekasih
yang dirisaukan juga semu.

2015


------------------------------------------
Pernah tersiar di Pikiran Rakyat edisi 3 April 2016

Karya Saya Tersiar di Surat Kabar!

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!

Lu ngapa si Jem?

Sabar teman-temanku yang soleh dan sholehah, gue belom gila kok. Gue cuma terlewat bahagia aja ngeliat nama gue sendiri ada di koran. Yak, nama gue ada di koran! Tenang aja, nama gue ada di koran bukan karna gue ketauan nyimpen ganja atau memperkosa seekor tapir di bawah umur. Nama gue terpampang di sana berkat 2 puisi gue yang lolos seleksi surat kabar Pikiran Rakyat.

Pikiran rakyat mungkin persebarannya nggak seluas Kompas, Sindo, dan Tempo yang tersebar di seluruh Indonesia. Koran ini adalah koran yang mencakup daerah Jawa Barat aja. Tapi tetep aja gue seneng banget kalo karya gue dibaca oleh ratus ribuan orang di Jawa Barat.

Mari itung-itungan sedikit ya buat mengetahui kira-kira orang yang membaca karya gue. Setelah gue googling, jumlah penduduk Jawa Barat 46, 3 juta. Tiap harinya Pikiran Rakyat mencetak lebih dari 185 eksemplar. Anggaplah warga yang membeli koran Pikiran Rakyat satu per seratusnya. Maka 46, 3x1/10=x>185 ribu. Lo tau nggak apa pentingnya itung-itungan tersebut? kalo gue si kaga.. Jadi mending gue skip aja kali ya.

Sip.

Jadi, awal gue tau kalo puisi gue ada di Pikiran Rakyat yakni pas senin 20 Juni kemaren. Jadi sepulang kuliah di senin sore, gue lagi nggak ada kegiatan apa-apa (atau dalam bahasa Ekuador dibilangnya "Gabut"). Gue lagi gabut kala itu, mau nonton film, tapi lagi males. Mau ngerjain tugas, apalagi.

Kalo lagi gabut gue biasa melakukan hal yang nggak penting semisal ngomong di depan kipas, atau bermain gitar tapi digebuk. Dan salah satu hal nggak penting yang gue lakuin saat itu adalah mencari nama sendiri di Google.

Nggak ada yang gue ekspektasikan atas pencarian nama sendiri di google kala itu. Siapa juga yang mau membicarakan gue. Gue sadar gue hanya orang biasa. Gue bukan anak presiden, bukan pula seorang artis. Kalau kata pepatah kuno-nya mah "DA AKU MAH APA ATUH."

Walaupun da aku mah apa atuh, gue tetep mengetikkan nama gue di mesin pencari google. Siapa tau aja ada berita gue lagi digosipin deket sama Pevita Pearce. Sapa tau aja ya kan~

Namun ternyata nggak ada gosip itu. Yang muncul pertama-tama adalah akun G+ gue. Kemudian gue scroll ke bawah lagi, gue melihat judul puisi yang tidak asing di ingatan. Puisi itu terpampang di id.Klipingsastra.com, yang mana situs ini berisi puisi-puisi maupun cerpen yang pernah tersiar di surat kabar.

Dag-dig-dug-der jantung gue berdetak tidak karuan. Gue bukalah tautan itu. Saat gue baca puisinya ternyata bener adanya bahwa puisi itu adalah puisi yang pernah gue buat.

Otomatis gue seneng banget lah. Asal kalian tau, gue udah mengidam-idamkan karya gue terpampang di media massa sejak tahun 2014. Di tahun 2014-2015 gue sedang giat-giatnya menulis lalu mengirimkan tulisan berupa puisi atau cerpen ke beberapa surat kabar atau majalah. Dari mungkin puluhan karya yang gue kirimkan itu nggak ada satu pun yang dimuat. Dan di situ kadang saya merasa cedih.

Selain ngirim-ngirimin karya ke media massa. Gue juga waktu itu sering ikut lomba puisi. Dan lagi-lagi, gue nggak pernah menang.

[Cry in Filiphines]

Paling puisi gue cuma jadi puisi terpilih aja. Tiga di antaranya pernah dijadikan buku antologi puisi di dua buku berbeda. Tapi tetep aja gue nggak puas kalo bukan keluar sebagai pemenang.

Pada 2016, barulah penantian lama gue terbayarkan. Puisi gue akhirnya terpampang juga di surat kabar. Setelah gue cek pesan keluar email. ternyata gue mengirimkan puisi itu tanggal 25 Juni 2015, dan baru tersiar di Pikiran Rakyat tanggal 3 April 2016. Hampir setaun broh! jangan tanyakan lagi deh seberapa mahirnya gue dalam hal menunggu ketidakpastian.

Engga nungguin juga sih sebetulnya. 3 bulan pertama gue masih sering buka web kliping sastra buat ngeliat apa karya gue lolos seleksi atau engga. Sampai akhirnya lama kelamaan gue nggak pernah meriksa lagi, dan menganggap ini hanya kegagalan gue yang lain.

Yang gue sayangkan dari redaksi Pikiran Rakyat, dia nggak ngabarin kalo karya gue akan disiarkan. Alhasil gue jadi nggak bisa ngeliat karya gue di koran secara fisik. Perihal honorarium juga engga dikabarin. Namun setelah gue telepon ke kantornya dan ngecek rekening, ternyata honor sudah dikirimkan.

Namun uang tidaklah penting. Yang penting bagi gue adalah gue bisa berkarya, lalu karya gue bisa dibaca oleh banyak orang, sebab di situlah salah satu sumber kebahagiaan gue berasal. #Anjhay

Eh engga deh bercanda, uang juga penting. Lumayan demi sesuap pizza he he he...

Barangkali ada yang baca tulisan ini dan lo punya teman, sodara atau siapa saja ada yang berlangganan koran Pikiran Rakyat, dengan sepenuh hati gue memohon hibahkanlah pada gue koran yang terbit tanggal 3 April 2016. Hal ini berarti banget buat kelangsungan hidup gue.

Kalau ada yang mau baca puisi gue bisa di web KlipingSastra dan di e-paper koran Pikiran Rakyat. Atau di Blog gue bakalan di-post juga setelah tulisan ini.

Kesesatan yang Lestari dalam Berbahasa Indonesia


Dilahirkan di negera Indonesia, bukan jaminan punya kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak orang-orang Indonesia berlomba-lomba mempelajari bahasa asing, tapi mengabaikan bahasanya sendiri.

Disadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja, pada prakteknya sehari-hari, masih banyak penggunaan bahasa Indonesia yang salah. Namun karena salah itu dilakukan terus menerus, jadi dalam pikiran kita hal itu udah tertanam menjadi sebuah kebenaran. Sama juga seperti kamu, kalau kamu benci aku secara terus-menerus, lama-lama mungkin benci itu bisa berubah jadi cinta.

APAAN~

Beberapa orang mungkin tau kesalahannya dalam berbahasa, tapi tidak memberitahu orang yang nggak tau. Beberapa mungkin nggak tau, tapi nggak mau cari tau. Beberapa mungkin mau cari tau, tapi nggak tau mau cari di mana. Kalo lo nggak tau harus cari di mana, lo sudah berada di tempat yang tepat.

Daripada lo semakin mual dengan pembukaan gue, langsung aja gue beritahu kesalahan-kesalahan umum yang sering gue temukan dalam penggunaan bahasa Indonesia.

1. Penulisan ke- dan di-

Penulisan "ke-" dan "di-" itu sebenarnya gampang-gampang mudah. Saking mudahnya, banyak orang yang nggak peduli dengan pengunaan ke- dan di-. Kadang gue jadi gatel-gatel sendiri kalo masih ada orang yang salah menggunakan ini.

Penulisan ke- dan di-, ada yang ditulis serangkai dengan kata dasar (imbuhan), ada pula yang terpisah dari kata yang mengikuti (awalan). Kalau mau tau "di-" atau "ke-" dipisah atau enggak, gampanya sih, kalau di- dan ke- yang merujuk pada suatu tempat atau waktu, berarti dia dipisah. Kalau yang sebagai kata kerja berarti disambung.

Kesalahan "di-" sebagai kata depan yang sering gue temui yakni dimana, diantara, disana, disisi. Itu semua salah. Karena sebagai penunjuk tempat seharusnya semua itu dipisah, jadi yang bener "di mana", "di antara", "di sini", "di sisi".

Contoh penulisan di- sebagai imbuhan dicintai, dicaci, disantet, digebukin, dsb.

Penulisan "ke-" juga lebih kurang sama, kalau ke yang menunjuk ke tempat/tujuan berarti ia dipisah. Misalnya yang bener itu “ke sana” bukan kesana, “ke mana” bukan kemana, dan lainnya.

Sedangkan ke- sebagai imbuhan contohnya kejedot, ketikung, keserempet, dsb.

Coba perhatikan spanduk ini.
Dari twitter @shamposachet
Bisa temukan kesalahan di spanduk tersebut?
Disekitar, seharusnya "di sekitar"
Disaat, seharusnya "di saat"
Silahkan, seharusnya "silakan"
Kedalam, seharusnya "ke dalam"

2. Pengejaan yang Salah

Kesalahan dalam pengejaan bukan sering dialami ketika kita menggunakan bahasa inggris aja, dalam bahasa Indonesia juga sering terjadi cuma mungkin orang-orang pada nggak sadar aja. Banyak orang juga menganggap salah eja itu bukan masalah berarti.

“Ah salah eja doang, lagian orang yang dengar atau baca juga bakalan ngerti apa yang gue maksud.”

Mungkin argumen itu benar. Kesalahan ini pun masih bisa dimaafkan kalo cuma buat nge-chat temen, nulis di blog atau di percakapan sehari-hari. Tapi kalo lo nulis karya ilmiah, media massa, atau barangkali suatu saat nanti lo jadi penulis pidato presiden, kesalahan kecil ini tidak bisa dimaklumi.

Seenggaknya lo sebagai warga negara Indonesia yang baik, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan bangsa, lo harus tau ejaan kata yang ejaan yang disempurnakan.

Berikut adalah daftar kata yang sering dieja salah. Yang di sisi kiri adalah kata yang bakunya.

“Napas”, bukan "nafas"
“Paham”, bukan “faham”
“Kecoak”, bukan “kecoa”
“Apotek”, bukan “apotik”
“Antre”, bukan “antri”
“Aktivitas”, bukan “aktifitas”
“Respons”, bukan “respon”
“Praktik”, bukan “praktek”
“Tolok ukur”, bukan “tolak ukur”
“Takhta”, bukan “tahta”
“Cendera mata”, bukan “cindera mata”

3. Penggunaan Tanda Baca

“Ayo makan anak-anak!”
“Ayo makan, anak-anak!”

Lihatlah bagaimana tanda koma bisa menyelamatkan nyawa banyak anak-anak tidak berdosa. Jadi penggunaan tanda baca itu vital banget dalam sebuah kalimat. Kalau tanda baca yang digunakan ngaco, bisa jadi pesan yang disampaikan penulis jadi rancu.

Kalo ini dari SD juga udah diajarin. Yang sering gue temui sebenarnya bukan kesalahan penggunaan tanda baca, akan tetapi cara peletakkan tanda baca.

Contoh:
A: Raisa, nyimeng yuk ?
B: Ayuk !

Apa yang salah?
Yak, peletakkan tanda tanya dan tanda seru yang didahului oleh spasi. Tanda baca dengan huruf terakhirnya seharusnya tidak diberikan jarak. Kenapa? Nanti takut kangen :’( hiks.

Masih banyak orang terjebak kesalahan ini. Gue perhatikan, bahkan banyak status-status media sosial temen gue yang nyatanya adalah seorang mahasiswa masih begitu.

Gue pun nggak luput dari dosa. Kalau lo liat postingan-postingan awal gue, gue juga nulis tanda bacanya begitu. Gue sengaja nggak membetulkan kesalahan itu, biar kalo gue baca-baca lagi, gue jadi inget bahwa gue juga pernah salah, dan itu menjadi motivasi gue untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Idih~

Tanda baca yang mau gue bahas selanjutnya yakni tanda hubung (-). Sebetulnya jarang gue menemukan banyak kesalahan di tanda ini. Niatan awal gue mau menjelaskan ini, berangkat setelah gue membuka blog temen gue, lalu hampir di setiap postingannya dia menggunakan tanda hubung semena-mena, yang mana hal ini membuat mata gue jadi mules ketika membacanya. Mari ditengok.



Lihat? Mules nggak lu bacanya? Mereka-mereka itu ditakdirkan hidup bersama. Orang jahat macam apa yang tega memisahkan huruf-huruf tak bersalah itu.

Tanda hubung digunakan pada situasi-situasi berikut ini:
  • Pemisah pada penggantungan baris
          Di malam yang dingin itu, Tarjo tak kuasa me-
          nahan cintanya pada Raisa lebih lama lagi.
  • Menyambung kata ulang
          Undur-undur, melihat-lihat, kehijau-hijauan
  • Pengejaan satu-satu dan bagian-bagian tanggal
          C-i-n-t-a
          27-03-1995
  • Se + huruf kapital | ke + angka | angka + -an
          Se-Depok, se-Timbuktu
          Ke-2
          Angkatan 90-an
  • Singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata
          Mem-PHK-kan, sinar-X
  • Nama jabatan rangkap
          Menteri-Sekretaris Negara
  • Merangkai unsur bahasa Indonesia dengan bahasa asing
          Di-tackle, di-service, di-smack

Setelah mengetahui fungsi-fungsi tanda hubung, apa tulisan temen gue tadi ada yang masuk kategori penggunaan tanda hubung? Tidak ada.

Coba lihat di contoh gambar tadi, ada yang gue lingkari dengan warna ijo. Itu juga kesalahan. Itu mungkin maksud si penulis adalah tanda pisah (−), yang mana seharusnya lebih panjang dari tanda hubung, tidak didahului dan diikuti spasi, huruf setelahnya bukan huruf kapital (kecuali memang kata yang wajib dikapitalkan). Kegunaannya pun berbeda dengan tanda hubung. Yang pengin tau, silakan cari di internet aja ya. Kepanjangan kalau saya jelaskan Pak, Bu.

4. Penggunaan Kata yang Salah Kaprah

Mulyono: “Kamu tau nggak? Selama ini, aku itu mengacuhkanmu!”
Ningsih: “Kamu jahat, Mulyono. Aku nggak mau ketemu kamu lagi!”
Mulyono: “Lho kok…”

Apa yang salah dengan perkataan Mulyono kepada Ningsih? Padahal Mulyono merasa sudah menyampaikan perasaannya dengan tepat, tapi mengapa Ningsih malah nggak mau ketemu Mulyono lagi?

Yang menjadi asal-muasal permasalahan mereka adalah penggunaan kata “acuh”. Yang berkembang di masyarakat, kata “mengacuhkan” disamakan dengan kata” mengabaikan”. Padahal artinya itu sebaliknya. Menurut KBBI, arti kata acuh sejatinya adalah peduli; mengindahkan.

Contoh lainnya mudah ditemukan di lagu Indonesia, salah satunya ada di lagu Once.

Kau boleh acuhkan diriku
Dan anggap ku tak ada
Tapi takkan merubah
Perasaanku…
Kepadamu…~

Di lagu itu ada 2 kesalahan. Pertama kata acuh yang disononimkan dengan abai, seperti yang gue bilang sebelumnya. Acuh itu artinya peduli. Peduli! Inget ya.

Kesalahan kedua yaitu kata “merubah”. Kata “ubah” yang diberikan imbuhan me- seharusnya jadi mengubah, bukan merubah. Merubah mah binatang.

Itu baru di satu lagu, belum lagi masih banyak lagu-lagu Indonesia yang melakukan kesalahan itu. Padahal kan lagu itu kan mempunyai kekuatan yang luar biasa di ingatan manusia. Lagu yang kita denger 10 tahun yang lalu pun, masih bisa kita inget dengan jelas. Kalau lirik lagunya menyampaikan kesalahan, tentu kesalahan itu juga bakal tersimpan di otak kita bertahun-tahun.

Kata yang salah kaprah selanjutnya adalah Anarkis. Di berita-berita, kalau ada tindakan perusakan, biasa menyebut dengan kata anarkis. Misal “Sopir taksi konvensional melakukan tindakan anarkis dalam demo besar-besarannya di Jakarta.”

Kalau dibaca sepintas, keliatannya sih bener. Namun coba kita jabarkan arti anarkis sesungguhnya menurut KBBI.
Anarki n 1 hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban; 2 kekacauan (dl suatu negara)

Anarkis n 1 penganjur (penganut) paham anarkisme; 2 orang yg melakukan tindakan anarki

Anarkistis a bersifat anarki
Sudah ada gambaran jawaban yang tepat?

Di contoh kalimat yang tadi “Sopir taksi konvensional melakukan tindakan anarkis dalam demo besar-besarannya di Jakarta”. Tindakan anarkis di situ kan maksudnya tindakan (yang bersifat) anarki, sedangkan anarkis arti sebenarnya adalah orang yang melakukan tindakan anarki (pelakunya), jadi yang benar seharusnya tindakan anarkistis.

Hal ini sama kasusnya dengan kata “optimis”. Mari kita lihat contoh salah yang kerap diucapkan orang-orang.

“Lo harus optimis, Mul. Lo pasti bisa mendapatkan hati Ningsih lagi.”

Sekarang mari kita jabarkan arti dari kata optimis
Optimis n orang yg selalu berpengharapan (berpandangan) baik dl menghadapi segala hal

Optimistis a bersifat optimis; penuh harapan (tt sikap)
Yang benar mestinya "Lo harus optimistis, Mul." Jadi, seorang optimis itu pasti memiliki sifat optimistis. Karena Mulyono optimistis, maka dia bisa dipanggil optimis.

Salah kaprah lainnya adalah kata Seronok. Mari lihat gambar berikut ini.

diambil dari liputan6.com
Dari gambar tersebut, apa kesimpulan yang lo ambil dari arti kata seronok?
Tidak sopan, mengumbar-umbar aurat, pokoknya negatif deh ya. 
Ini termasuk kata yang mengalami pergeseran makna. Arti sesungguhnya dari seronok yaitu menyenangkan hati; sedap dilihat (didengar dsb). Jadi kalo lo pergi ke pesta atau acara lainnya, pasti lo memakai pakaian yang seronok. Kalo ada orang yang nyuruh lo nggak pake pakaian yang seronok, berarti dia nyuruh lu pake pakaian layaknya seorang gepeng.

Itulah beberapa kesesatan yang dilestarikan di masyarakat. Di sini gue nggak bermaksud untuk menggurui. Dekat dengan dunia penulisan dan terjun di jurusan sastra membuat kemampuan ilmu berbahasa Indonesia gue semakin meningkat. Gue juga bukan ahli bahasa, cuma pencinta bahasa aja. Barangkali ada tulisan gue yang khilaf tolong dibenarkan, atau kalau ada yang mau menambahkan sangat diperbolehkan.

Jadi apa lo termasuk salah satu orang yang melakukan kesalahan-kesalahan di atas? Setelah lo tau kesalahan-kesalahan itu, masih mau mengulangi kesalahan yang sama?
Berat banget nggak sih buat memperbaiki kesalahan kita berbahasa?
Enggak lah ya… berat ajah.
Berat banget mah…. ngajarin Limbad baca puisi.

Waanjirr~

Semoga tulisan saya ini bisa membantu. Saya doakan orang-orang yang masih tersesat hidupnya dalam berbahasa Indonesia diberikan pencerahan, jalannya diluruskan, dan dosa-dosanya bisa diampuni oleh Yang Maha Kuasa.